Ini kisah tukang cendol. Saya kutip dari Emha Ainun Najib.

Seorang tukang cendol, seperti biasa berangkat dari rumah menuju desa-desa yang menjadi langganan persinggahannya. Tentu saja pikulannya penuh dan berat. Belum lama dia meninggalkan rumah, dia dihentikan oleh seseorang yang sangat memerlukan cendol untuk acara pesta di rumahnya.

“Pak, cendolnya boleh saya beli?” tanyanya.

“Oh, tentu saja, Nak. Cendol ini ‘kan untuk dijual. Mau berapa gelas?” tanya Pak Tua pedagang cendol sambil “memarkir” pikulan cendolnya.

“Saya mau beli semuanya, Pak. Kebetulan hari ini saya mengundang banyak tamu dan akan sangat segar kalau siang nanti tamu-tamu disuguhi segelas cendol dingin dan manis kayak yang Bapak bawa. Berapa harga semua cendolnya, Pak?”

“Waduh… maaf, Nak. Kalau semuanya, tidak bisa saya jual. Paling banyak separuhnya saja,” kata tukang cendol itu dengan nada yang sangat rendah hati.

“Lho… kenapa, Pak? ‘Kan kalau Bapak jual pada saya, hari ini Bapak bisa pulang lagi, beristirahat dan Bapak juga untung karena tidak terlalu jauh harus bawa-bawa cendol yang berat ini. Bahkan kalau mau, saya akan tambahkan harga lebih tinggi dari yang biasa Bapak jual,” kata sang pembeli dengan penasaran.

“Maaf ya, Nak. Saya tidak bsa menjual semua cendol ini. Paling banyak setengahnya saja. Maaf!” lagi-lagi tukang cendol itu menolak transaksi.

“Kenapa, Pak?” calon pembelinya sangat heran.

“Begini ya, Nak. Saya punya banyak langganan di desa-desa yang sudah terbiasa membeli cendol saya tiap hari. Ada yang satu gelas, ada yang dua gelas. Saya tidak mau mengecewakan mereka. Mungkin mereka sudah bersiap beli cendol saya sekarang. Memang kalau saya jual semua sekarang, akan jadi lebih ringan, tapi bagaimana dengan pelanggan saya di desa-desa sana? Saya kasihan sama mereka kalau saya tidak bawa cendol buat mereka hari ini. Betapa kecewanya mereka.”

Syahdan, pembaca, kita bisa berkomentar banyak tentang Pak Tua penjual cendol itu. Hari gini, masih mikirin orang lain? Apa orang akan mikirin kita? Belum tentu, lagi…

Tapi begitulah penjual cendol itu. Seakan menggugah keserakahan dan egoisme sebagian kita yang hanya berpikir tentang kepuasan dan kesenangan diri. Tukang cendol itu mengajarkan banyak hal. Ia mengajarkan empati yang menjadi dasar kecerdasan emosional. Beliau juga mengajarkan kesetiaan dan komitmen serta kesediaan untuk bekerja keras dengan orientasi pada profesi dan kepuasan pelanggan. Beliau mengajarkan untuk hidup dengan memiliki nilai dan prinsip yang akan menjadi pedoman bagi langkah dan perilaku kita.

Bila kita yakin bahwa rezeki tak akan tertukar, mestinya kita pun bisa dengan tekun dan penuh dedikasi menjalankan semua amanah kita dengan penuh keikhlasan. Allah takkan menyia-nyiakan semua amal kita sepanjang kita ikhlas melakukannya. Allah bahkan menjanjikan kemenangan dan kebahagiaan bagi mereka yang melakukan amal dengan penuh perhitungan dan bersandar pada aturan baku: tidak melanggar SOP (Standard Operational Procedure).

Yang bekerja dengan ikhlas, penuh perhitungan dan dedikasi yang tinggi, adalah yang akan tersenyum ketika menghadap Allah. Semoga bermanfaat. []

Ditulis oleh Ustadz Budi Prayitno, pengisi rubrik Inspiring Qur’an Tabloid Alhikmah

Assalamualaikum, Sinergi Foundation!