Sumbangsih dalam membangun peradaban Islam rupanya tak hanya dilakukan oleh para ulama, cendekiawan muslim, atau juga para sultan yang berkuasa di zamannya. Tapi adapula wakaf yang berasal dari sumbangsih muslimah. Salah satunya adalah wakaf yang dilakukan oleh Fatimah Al Fihriyyah.

Fatimah Al Fihriyyah merupakan putri dari seorang saudagar kaya raya asal Tunisia, Muhammad Al Fihri. Meski berasal dari keluarga terpandang, mereka memiliki kepedulian dan kepekaan pada sesama serta memiliki jiwa sosial yang tinggi.

Ini sebabnya setelah sang ayah, suami, dan saudara laki-lakinya meninggal, warisan yang diperoleh Fatimah digunakan untuk wakaf masjid. Pun hal ini juga dilakukan oleh saudara perempuan Fatimah, yakni Maryam Al Fihriyyah.

Fatimah membangun masjid Al Qarawiyyin (terkenal juga dengan julukan Masjid Jami’ Al Syurafa’) di kota tua Fez, Maroko. Sedang Maryam membangun masjid Al Andalus, di Spanyol.

Kedua masjid ini pun kelak akan dikembangkan menjadi universitas yang kelak menjadi kiblat dunia pendidikan modern. Mulai dari kurikulum, sistem pengajaran, sampai simbol akademik. Hingga kini, pakaian mahasiswa (toga) ala Fatimah al Fihri masih dipakai oleh kampus-kampus di segenap penjuru dunia. Toga yang berbentuk segi empat itu merupakan simbol yang diinspirasi dari bentuk Ka’bah di Makkah, sebagai kiblat umat Islam.

Selama pembangunan masjid Al Qawariyyin, Sumara Khan dalam tulisannya “Fatimah, The Founder of The World’s University” menuturkan, Fatimah secara eksklusif mendanai konstruksi pembangunan masjid. Sumber-sumber sejarah juga mencatat bahwa ia turun langsung dan ikut mengawasi jalannya pembangunan dengan sangat rinci.

Masjid Al Qawariyyin dibangun dengan struktur yang hampir sama dengan Masjid Qayrawan di Tunisia. Aula shalat beratap atau yang disebut dengan mughatta hanya terdiri dari empat saf aisle (barisan tiang yang membentuk sebuah lorong) dengan panjang 30 meter. Sedangkan di sebelah barat aula tersebut, dibangun sebuah halaman terbukan dan menara.

Tak ingin menjadikan masjid sebagai sarana beribadah saja, Fatimah berinisiatif menyumbangkan perpustakaan pribadi keluarganya untuk kepentingan publik, utamanya jamaah masjid–bahkan perpustakaan tersebut menjadi salah satu yang termegah di Afrika Utara. Selain perpustakaan, Al Qawariyyin juga dilengkapi dengan sarana asrama.

Dengan adanya fasilitas tersebut, jamaah yang berkunjung dari berbagai wilayah tak hanya datang untuk melaksanakan ibadah tetapi juga turut dalam halaqah. Halaqah yang diadakan dalam masjid pada awalnya hanya membahas seputar Hadits, ilmu tafsir dan fikih.

Namun lambat laun lahir kajian-kajian ilmu lain seperti filsafat, linguistik, ekonomi, seni rupa, sastra, politik, matematika, sejarah, arsitektur, kedokteran, teknik, musik, psikologi, sosiologi dan berbagai cabang ilmu lainnya. Secara bertahap, aktivitas pendidikan kemudian terlembagakan sebagai Madrasah al Qarawiyyin.

Sepeninggal Fatimah pada 880 M, para sultan sambung-menyambung memberikan dukungan bagi keberlangsungan kegiatan akademik di Al Qarawiyyin.
Pada 956, Khalifah Abdurrahman III dari Kordoba memperbaiki masjid beserta madrasah di sekitarnya. Pada 1135 Sultan Ali bin Yusuf dari Dinasti Almoravid memperluas kompleks masjid dan madrasah tersebut hingga mencapai tiga ribu meter persegi.

Mayoritas penampakan Al-Qarawiyyin yang dapat dijumpai sekarang merupakan hasil restorasi Sultan Ali. Perbaikan kompleks religius-edukatif yang menyeluruh ini berlangsung dalam abad ke-16 atas perintah para sultan Dinasti Saadi.

Karena itu, tidak mengherankan bila kampus ini menghasilkan banyak ilmuwan kelas dunia. Beberapa nama di antaranya adalah Abu Madhab al Fasi (pemrakarsa studi fiqih mazhab Imam Maliki), Abu Abullah as Sati, Abu al Abbas az Zawawi, Ibn Rashid as Sabti (pakar hadis dan pengelana), Ibnu al Hajj al Fasi, Abu Imran, dan al Idrisi. Adapun sosok-sosok semisal Ibnu al Arabi, Ibnu Khaldun, Ibnu al Khatib, al Bitruji, Ibnu Hirzihm, dan al Wazzan diketahui memiliki hubungan akademis dengan Al Qarawiyyin.

Selain pelajar Muslim, universitas ini juga terbuka bagi intelektual Kristen dan Yahudi. Mereka antara lain Musa bin Maymun (Maimonides), Leo Afri canus, Nicolas Cleynaerts, Golius, dan bahkan Paus Sylvester II (Gerbert dari Aurillac). Filsuf Prancis Roger Garaudy menyebut Al Qarawiyyin sebagai percontohan pertama bagi pendirian kampus-kampus di Barat.

Sumara Khan juga menyebutkan, universitas yang juga melahirkan Ibn Al Arabi dan Filsuf Yahudi, Maimonides ini berhasil mengumpulkan lebih dari empat ribu manuskrip yang amat berharga untuk Islam, termasuk kitab-kitab hadis dan Alquran dari zaman keemasan Islam yang hingga kini masih tersimpan dalam perpustakaannya.

Manuskrip tersebut diantaranya Muwatta, Imam Malik yang tertulis pada perkamen (kulit, red) kijang, Sirah Ibnu Ishaq, transkrip utama kitab Ibnu Khaldun “Al ‘Ibar” tahun 1396 M dan salinan kitab Al Quran yang dihadiahkan oleh Ahmad al Mansur adz Zhahabi untuk universitas pada tahun 1602 M.

Maka tak mengherankan jika masjid yang berkembang menjadi universitas pada tahun 859 M itu kemudian diakui UNESCO sebagai instistusi pendidikan tinggi pertama dan tertua yang pernah dibangun dibandingkan Universitas Al Azhar Mesir (970M), Universitas Bologna di Italia (1088M), atau Universitas Oxford di Inggris (1096M).

Source: dbs

Assalamualaikum, Sinergi Foundation!