Salah besar jika kita menganggap bahwa puncaknya sebuah peradaban diukur dari kemajuan bangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kreasi budaya yang dicapai.

Meskipun dari sejarah peradaban Islam kita bisa melihat kegemilangan yang pernah dicapai umat Islam, seperti dikenalnya Baghdad sebagai ibu kota pusat peradaban Islam, hingga tempat berkumpulnya para intelektual dari Arab, Eropa, Persia, China, India, dan Afrika. Namun inti dari peradaban bukanlah itu.

Istilah peradaban Islam dirunut dari asal kata “adab”. Dalam kitab Mu’jam al Washit disebutkan bahwa kata “adab” berasal dari adduba dan taaddaba, yang artinya mendidik seseorang dengan akhlak yang baik.

Jadi peradaban dikatakan sukses, jika individu yang turut berkontribusi dalam peradaban itu sendiri berilmu, halus tutur katanya, berkesusastraan tinggi, berakhlak mulia, disebut sebagai adib (orang yang beradab).

Individu-individu dengan akhlak terbaik itu pun kemudian membentuk lingkungan masyarakat yang baik. Lalu mengembangkan ekonomi dengan baik yang diindikasikan dengan bertumbuhnya pertanian dan perdagangan secara jujur tanpa tipu muslihat. Masyarakat lalu hidup makmur dan wilayah kekuasaan Islam bertambah luas. Peradaban ini kemudian dikenal dengan peradaban Rabbani.

Peradaban Rabbani adalah peradaban yang dibangun berdasarkan ketentuan Allah Ta’la. Meski demikian, peradaban Rabbani tetaplah bersifat insani. Kendati tujuannya berpangkal dari Allah Ta’ala, tetapi peradaban ini dibangun dengan usaha manusia; melalui kemampuan, bakat, dan kecenderungan manusia yang telah dititipkan Allah Ta’ala untuk memakmurkan bumi.

Maka tak heran, individu terbaik yang membangun peradaban ada di zaman Rasulullah. Diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,

“Sebaik-baik manusia ialah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya, dan kemudian zaman berikutnya. Lalu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan sumpahnya mendahului persaksian.”

Sebab dapat kita lihat dalam diri di tiap sahabat Rasulullah, mereka miliki nilai kemuliaan manusia yang meliputi keadilan, perdamaian, ilmu pengetahuan, dan amal (usaha). Dan seluruh aspek ini kemudian digunakan untuk kemaslahatan umat.

Hal tersebut terlihat dari kedermawanan para sahabat Rasul dalam memanfaatkan harta yang Allah titipkan untuk beribadah sebagai bentuk penghambaan kepada Sang Khalik.

Umar bin Khattab misalnya, mewakafkan tanah di Khaibar. Tapi ternyata tak itu saja. Umar juga mewakafkan aset-aset tanahnya yang lain yang dimilikinya di berbagai lokasi setelah menjadi khalifah.

Adapula Abu Thalhah yang sangat mencintai kebun-kebunnya. Namun ketika firman Allah (QS Ali Imran: 92) sampai di telinganya, Abu Thalhah bergegas menemui Rasulullah untuk mewakafkan kebun Bairuha miliknya.

Ali bin Abi Thalib pun menjadi salah satu sosok sahabat Rasul yang juga banyak berwakaf selama hidupnya. Beliau mewakafkan tanahnya di Yanbu dan wakaf sumber air Abi Naizar.

Di antara wakaf menakjubkan yang ditunaikan oleh para sahabat Rasulullah, yakni wakaf dari Khalid bin Walid. Beliau mewakafkan baju-baju besi beserta perlengkapan perang lainnya.

Serta sosok Utsman bin Affan, yang dikenal dengan wakaf sumur. Meski sudah berusia 1400 tahun, wakaf sumur ini masih mengalirkan manfaat. Bahkan dikembangkan oleh pemerintah Arab menjadi hotel. Sebuah rekening atas nama Utsman bin Affan pun dibuat untuk menampung surplus dari pengelolaan hotel dan kebun kurma. Setengah keuntungannya lagi-lagi digunakan untuk kegiatan sosial.

Semoga, kita pun bisa meneladani kebaikan yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya, aamiin.

Source: dbs

Assalamualaikum, Sinergi Foundation!