Bernilainya aset yang diwakafkan, tak jarang membutakan mata keluarga bahkan kerabat dekat. Sehingga tak jarang, wakaf tersebut diupayakan untuk dibatalkan. Padahal, membatalkan wakaf tidaklah dianjurkan.
Menurut qaul atau pendapat yang azhhar dalam madzhab Syafi’i bahwa kepemilikan harta benda yang diwakafkan berpindah menjadi milik Allah. Artinya kepemilikan tersebut lepas dari indvidu tertentu.
Karena itu saat berwakaf, wakif harus memenuhi syarat sah sebagai wakif yakni ahliyyatut tabarru’ (orang memiliki kecakapan atau memadai untuk berderma). Karena wakafnya orang gila, anak kecil, orang yang dipaksa, mahjur ‘alaih (orang yang dilarang oleh hakim untuk menggunakan hartanya), atau budak mukatab tidak sah.
Begitupun benda yang diwakafkan, harus memenuhi syarat, yakni; berupa harta benda yang bernilai, diketahui dengan jelas, dan dimiliki oleh orang yang akan mewakafkannya dengan kepemilikan yang sempurna. Sehingga terhindar dari penyebab-penyebab yang membatalkan wakaf.
Setelah sah diwakafkan, harta ini tak bisa berpindah tangan ke orang lain, termasuk ahli waris. Hal ini disebut dalam sabda Rasulullah, “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya), tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan…” (HR Bukhari)
Dalam kitab Al Mabsuth, Abu Yusuf dan Muhammad menegaskan, “Harta, bila diwakafkan tidaklah menjadi milik pewakaf lagi. Tetapi, dia hanya berhak menahan benda pokoknya, agar tidak dimiliki orang lain. Oleh karena itu, bila pewakaf meninggal dunia, ahli warisnya tidak mewarisi harta wakafnya.”
Dengan demikian, harta benda wakaf telah menjadi milik Allah seutuhnya. Benda tersebut tak bisa dijual, dihibahkan, maupun diwariskan.
Namun perlu diingat, jika menitipkan ke nazhir profesional, tak ada kekhawatiran harta wakaf tersebut akan disalahgunakan. Harta yang diwakafkan, insya Allah, berdayaguna, diproduktifkan hingga melahirkan manfaat lebih luas pada sesama. Wallahua’lam.
Siap tunaikan wakaf? KLIK di sini