Kini, masjid hanya berfungsi sebagai tempat untuk shalat berjamaah, pengajian rutin, atau tempat anak-anak belajar Al Quran. Padahal fungsi masjid tidak hanya itu saja di masa kejayaan Islam.

Di masa itu, masjid tak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja, namun juga sebagai pusat kegiatan intelektualitas. Ribuan pelajar dari penjuru negeri datang berbondong-bondong untuk mempelajari beragam ilmu, seperti tata bahasa arab, lgoka, Aljabar, Biologi, dll.

Sebagai pusat akademis, masjid-masjid di era kekhalifahan juga dilengkapi dengan perpustakaan. Koleksi bukunya begitu melimpah, karena banyak ilmuwan dan ulama yang mewakafkan bukunya di perpustakaan masjid.

Pada perkembangannya, para pelajar tak hanya menimba ilmu di masjid saja. Tapi juga berkesempatan mempraktikan kemampuannya. Misalnya dalam bidang kedokteran, para siswa dapat belajar di rumah sakit. Atau di bidang astronomi, para pelajar ini dapat belajar langsung di observatorium.

Dan hal ini dapat kita lihat pada Universitas Al Qawariyyin di Maroko.

Bermula dari membangun masjid oleh pendirinya, Fatimah Al Fihriyyah, masjid ini lalu dikembangkan menjadi pusat intelektual. Dan setiap waktunya, fasilitas baru dibangun semata-mata untuk memaksimalkan pembelajaran para pelajar.

Mulai dari membuat perpustakaan, asrama, hingga menambah kajian-kajian ilmu lain, selain Hadits, ilmu tafsir dan fikih. Seperti filsafat, linguistik, ekonomi, seni rupa, sastra, politik, matematika, sejarah, arsitektur, kedokteran, teknik, musik, psikologi, sosiologi dan berbagai cabang ilmu lainnya. Secara bertahap, aktivitas pendidikan kemudian terlembagakan sebagai Madrasah al Qarawiyyin.

Karena itu, tidak mengherankan bila kampus ini menghasilkan banyak ilmuwan kelas dunia. Beberapa nama di antaranya adalah Abu Madhab al Fasi (pemrakarsa studi fiqih mazhab Imam Maliki), Abu Abullah as Sati, Abu al Abbas az Zawawi, Ibn Rashid as Sabti (pakar hadis dan pengelana), Ibnu al Hajj al Fasi, Abu Imran, dan al Idrisi. Adapun sosok-sosok semisal Ibnu al Arabi, Ibnu Khaldun, Ibnu al Khatib, al Bitruji, Ibnu Hirzihm, dan al Wazzan diketahui memiliki hubungan akademis dengan Al Qarawiyyin.

Selain pelajar Muslim, universitas ini juga terbuka bagi intelektual Kristen dan Yahudi. Mereka antara lain Musa bin Maymun (Maimonides), Leo Afri canus, Nicolas Cleynaerts, Golius, dan bahkan Paus Sylvester II (Gerbert dari Aurillac). Filsuf Prancis Roger Garaudy menyebut Al Qarawiyyin sebagai percontohan pertama bagi pendirian kampus-kampus di Barat.

Selain melahirkan berbagai cendikiawan, Al Qarawiyyin juga menjadi tempat berharga berkumpulnya lebih dari empat ribu manuskrip yang amat berharga untuk Islam, termasuk kitab-kitab hadis dan Al Quran dari zaman keemasan Islam yang hingga kini masih tersimpan dalam perpustakaannya, masya Allah.

Sahabat, mengambil hikmah dari kisah ini, bukan hal yang tidak mungkin untuk melakukan hal serupa di zaman sekarang dimulai dengan membangun Masjid Daarul Aulia di Lembang, Bandung.

Hadirnya Masjid Daarul Aulia, tidak hanya menjadi tempat ibadah bagi masyarakat dan musafir yang melintas tapi juga sentra syiar Islam dan tempat santri penghapal Al Quran menimba ilmu. Insya Allah, besar-kecilnya wakaf yang dititipkan untuk membangun masjid ini, akan mengalirkan pahala tak terputus.

Mari menjadi bagian dari tegaknya Masjid Daarul Aulia!

Salurkan wakaf terbaikmu ke bit.ly/WakafMasjidLembang

Source: dbs

Ayo Berbagi untuk Manfaat Tiada Henti
Assalamualaikum, Sinergi Foundation!