Memiliki lima anak dengan kondisi ekonomi yang karut marut, terbayang bagaimana beratnya menjalani kehidupan yang demikian. Belum soal cibiran sana-sini sebab suami tak juga mendapat panggilan pekerjaan. Di tengah kondisi demikian, Allah hadirkan calon buah hati yang saat itu masuk usia dwisemester kehamilan. Sepenggal kondisi itulah yang Ira Astika Dewi rasakan, kala almanak menginjak di tahun 2005 silam. Tahun itu menjadi bagian dari lipatan episode tersulit dalam kehidupannya.

Demi mengais sepiring nasi, Ira berjualan lotek. Di tengah perut yang kian membesar, tangannya dengan lincah menggerus bumbu di atas cobek batu. Oleh hal penghasilan yang tak tentu, tak jarang ia mesti menekan rasa malu untuk tak menolak pemberian nasi sisa dari tetangganya yang merasa pilu. Air matanya pun tumpah saat bercerita lipatan episode silamnya.

Dari semua kondisi yang harus ia hadapi itu, ada satu pikiran yang mengusik batin. Apalagi kalau bukan soal biaya melahirkan sang buah hati. Ira bingung setengah mati, ke mana harus mengiba bantuan. Di era itu, biaya persalinan normal sekira 500 ribu hingga satu juta rupiah. Duh, dari mana saya menggenggam uang sebanyak itu.

Sang suami tercinta juga bukan tumpah tindih tanpa usaha. Selama terjangkau dan bisa ia lakukan plus pekerjaan yang halal, tak sungkan kan dilakoninya. Namun memang permintaan tak senantiasa datang saban hari, tetap saja ia kelimpungan menunggu dan mencari orderan.

Sampai suatu ketika, di ujung tenggorokan rasa putus asanya, keimanan Ira digoncang sebuah tawaran. Seolah adalah solusi namun menyisakan selaput sesak sebagai seorang ibu. Kakaknya kenal dengan seorang dosen di sebuah kampus ternama, katanya, kalau Ira merasa berat dan tak sanggup mengurus anaknya kelak, ya dosen itu siap menerimanya, hal itu dilakukannya karena sejak awal pernikahannya keluarga kaya raya itu kadung tak dikaruniai seorang anak pun.

Deg,

“Hati saya gamang, Kang. Di satu sisi melihat kondisi saat itu untuk sekadar melahirkan pun saya tak mampu. Belum soal sandang, papan, dan pangan?” ucapnya.

Di lain hal, imbuhnya, sebagai seorang ibu, bila hal itu terjadi, tentu akan menjadi tekanan batin seumur hidup. Iya, kalau ia masih bisa melihatnya. Bagaimana apabila sebaliknya. Jangankan menatap dari kejauhan, jika mendengar rimbanya saja tak kasat di telinga, bagaimana?

Namun Ira juga tak punya pilihan lain. Menghidupi kelima anak saja sesak nafasnya setengah mati. Ini mau ditambah satu lagi. Apalagi kebutuhan bayi juga bukan barang enteng.

Sambil menahan ragu, Ira sempat mengiyakan tawaran itu. Walaupun belum sampai pada proses transaksi, kenal dengan orangnya saja belum.

Ia masih ingin berdo’a kepada Allah, mengharap ada celah solusi yang lebih arif. Bila memang Ia masih memberikan setangkup kepercayaan kepadanya untuk mengurus buah hati kelak, Ira betul-betul berharap diberikan jalan keluarnya.

Doa yang Ira panjatkan saban waktunya, Allah jawab dengan cerita yang tak dinyana. Tatkala ibunya tengah berjalan-jalan, sekelebat terbaca olehnya spanduk bertuliskan Rumah Bersalin Cuma-cuma (RBC) yang saat itu masih beralamatkan di Jalan Holis No 127.

Lamat dibaca, ragam tanya pun bermunculan di benaknya. Benarkah gratis? Tapi kemudian ia berpikir untuk tak ada salahnya mencoba mencari tahu lebih dulu. Maka, informasi itupun singgah dikuping Ira, dalam hatinya berbisik, apakah ini jawaban atas doa-doanya? Sambil membawa sejumput rasa penasaran tanpa banyak alasan, bersegera ia datang ke RBC, dengan harapan bisa memetik setitik jawaban di sana.

Di usia kandungan yang sudah tujuh bulan, Ira kemudian survei bersama suaminya. Karena tak punya kendaraan, ia berinisiatif meminjam barang sejenak motor punya tetangga.

Lokasi RBC yang strategis membuat Ira tak kesulitan menemukan RBC, bangunan yang cukup luas dengan warna hijau meneduhkan pandangan. Bukan hanya itu, mengurus persyaratannya pun terbilang mudah. Saat diwawancara pihak RBC, Ira ceritakan semua kondisi yang sebenarnya. Mulai dari suami pengangguran hingga rencana akan diambilnya anak ketika lahir nanti.

Di sisa-sisa usia kehamilannya, Ira merasakan betul bagaimana profesionalnya dokter dan bidan saat menangani pasien. Meski nirbiaya tapi pelayanannya begitu maksimal. Bahkan lebih baik bila disandingkan dengan rumah bersalin atau rumah sakit serupa.

“Saya betul-betul terenyuh dengan kebaikan mereka, tanpa membeda-bedakan pasien dengan sabar RBC melayani dan memberikan edukasi terhadap saya. Belum saya temukan di tempat lain,” ucapnya bersemangat.

Dengan diterimanya Ira sebagai member RBC, pupuslah segala gundah yang membebani pikiran selama ini. Ia tak harus menjual bayinya. Sebab biaya persalinan benar-benar gratis. Seiring tangisan mengea-ngea itu pecah, leleh juga air matanya. Terselip rasa sesal telah mendahului Allah dalam perkara rezeki.

Alhamdulillah, dede, begitu ia memanggilnya, lahir dengan normal dan selamat. Atas inisiatif keluarga terbitlah nama Razak Braja Cakti, diharapkan ia tumbuh menjadi lelaki yang diberikan limpahan rizki dan kuat dalam menghadapi segala tantangan hidup. Sengaja, dipilih padanan kata Cakti, agar bila disingkat menjadi RBC. Sekadar tanda terima kasih atas pertolongan bidan-bidan RBC yang sangat baik.

Kehidupan yang Beranjak Baik

Kehadiran Razak seolah menjadi gerbang rezeki. Kehidupan yang menapak layak mulai mereka rasakan. Suaminya bisa bekerja sebagai tukang parkir di sebuah mall di bilangan Dago. Sementara putri sulungnya membantu dengan bekerja pada orang lain sebagai sales sebuah produk kecantikan. Sedikit-sedikitnya membantu Ira meniti tangga kehidupan yang lebih baik lagi.

Mereka juga tak lagi menumpang di orang tua, bisa menempati rumah sederhana sambil berjualan cemilan ringan. Meski untuk mendapatkan tempat tersebut juga bukan jalan yang mudah. Doa lagi-lagi menjadi tuah Ira untuk menapaki kehidupan lebih baik lagi. dan Allah senantiasa mendengar pinta hamba-hamba-Nya.

Karena terharu bin terkesima dengan pelayanan RBC, dengan ringan hati Ira bercerita hal-hal tentang RBC. Bagaimana pelayanannya, perlakuan yang lembut nan santun, kelengkapan fasilitas untuk sebuah rumah bersalin.

“Dede saya ceritakan kenapa nama akhirnya Cakti bukan Sakti. Karena dia lahir di RBC. Saya menanamkan agar dia bangga menyemat nama RBC. Karena memang keberadaan RBC begitu sesuatu. Kalau tidak ada RBC, mungkin jalan ceritanya akan berbeda. Hampir saja, saya memberikan ‘RBC’ pada orang lain,” paparnya.

Hal ini yang kemudian membuat Razak juga memikul nama ‘RBC’ dengan penuh kebanggan. Hal ini memang langsung dibuktikan dengan anggukan bocah lelaki itu. Razak yang mendamba menjadi atlit sepak bola nasional ini, dengan tawa polosnya begitu yakin dan bangga atas nama yang diberikan ortunya. Sekaligus berterima kasih terhadap RBC, entah bagaimana kehidupan kelaknya, bila Allah tak mempertemukan ibunya dengan RBC. Mungkin yang kini ia tatap bukanlah ibunya yang sebenarnya.

“Iya saya bangga menyemat nama RBC,” jawabnya dengan suara yang kecil, sebab masih agak malu-malu bertemu orang baru.

Ala kulli hal, di luar hal itu Ira mendapati segenggam hikmah dari ujian kehidupannya, tentang kepercayaan dan kekuataan doa. Lahirnya Razak betul-betul menyadarkan saya bahwa ada Ar Razak yang Maha Pemberi Rezeki. []

Ayo Berbagi untuk Manfaat Tiada Henti
Assalamualaikum, Sinergi Foundation!