Di Desa Bomo, Kabupaten Banyuwangi, tinggal seorang kakek yang usianya bahkan lebih tua dibanding Republik Indonesia.
Kakek bernama Abah Mamat ini ikut merasakan pahitnya hidup di bawah tekanan penjajah. Menurut ceritanya, Abah Mamat pernah diculik penjajah dan menjadi salah satu pekerja romusha.
Kenangan pahit sebagai pekerja romusha terus menempel di kepalanya. Sebagai buktinya, mars Romusha yang dinyanyikannya saat itu masih diingat dengan jelas. Abah Mamat dapat menyanyikannya dengan lancar, meskipun pengucapannya kurang jelas karena giginya yang sudah ompong.
Setelah penjajah angkat kaki, Abah Mamat terus berjuang untuk hidupnya.
Saat ini pun, di usianya yang sudah 100 tahun, ia masih terus berjuang merawat istrinya yang sakit-sakitan. Untuk kebutuhan sehari-hari, Abah Mamat hanya bisa mengandalkan belas kasih tetangga dan orang-orang di sekitarnya.
Alhamdulillah, paket sembako yang mengalir dari kebaikan Sahabat membantu meringankan perjuangannya untuk hidup. Abah Mamat terlihat sangat bahagia dan bersyukur menerima bantuan tersebut. Terbata-bata, ia mengungkapkan rasa terima kasihnya.
Sahabat, di luar sana banyak lansia dhuafa yang hidup dalam keadaan serba kekurangan.