“Kita tidak berbicara soal skala besar, kita berbicara dampak dari sociopreneurship ini. Usaha kecil tak apa, tapi memiliki value, dan dampaknya terasa oleh masyarakat,”
Ramai. Jauh sebelum pembicara hadir, ruangan tersebut sudah berjejal. Peserta Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan Sinergi Foundation itu memenuhi kursi. Catatan dan pena siap di meja. Menanti antusias, seraya menonton cuplikan-cuplikan singkat mengenai profil sang pemateri.
Adalah Dr. Dwi Purnomo, STP., MT., yang menjadi pembicara kegiatan FGD bertajuk “Best Practice Socio Entrepreneur” di sepenggal Maret 2017 itu. Kala sosoknya hadir, binar antusiasme itu kian terang. Para peserta siap menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari sang sociopreneur.
Nama Dr. Dwi memang telah lama dikenal. Pada 2015, ia dianugerahi penghargaan The Outstanding Young Person of The Year (TOYP) untuk kategori akademisi, dari Junior Chamber International (JCI). Walikota Bandung, Ridwan Kamil memberikan langsung penghargaan tersebut.
Apa yang telah ia lakukan? Dalam wawancara bersama Alhikmah, Dr. Dwi menerangkan bahwa penghargaan tersebut diraih sebab ia dianggap sebagai penggerak kewirausahaan nasional. Mulanya, ia membuat kurikulum menyenangkan yang terkait dengan sociopreneurship. Secara konsisten, ia mengembangkan basis keilmuan dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
“Jadi, konsepnya adalah bagaimana cara kita bisa membuat kurikulum tinggi yang bisa mengakomodir kebutuhan entrepreneurship, berbasis riset, berbasis akademik.” jelasnya.
Prinsip dasarnya, ia menjelaskan, adalah kolaborasi dan system thinking yang berpedoman pada proses kreatif. Dari sanalah prinsip ini kemudian menghasilkan inovasi dalam kegiatan sosial dan kewirausahaan. Pelan-pelan, kurikulum itu jadi aksi, lalu berkembang hingga sekarang.
Dr. Dwi menargetkan, kedepannya Indonesia harus memiliki lebih banyak pemberdaya yang tak hanya mau turun ke lapangan, namun juga menyebarkan kebaikan secara luas melalui sociopreneurship.
Dan, langkah menuju target itu, diakuinya telah lama dimulai. Ia banyak menginisiasi model pemberdayaan sosial yang dilaksanakan secara sinergis. Misalnya, ia membuat kegiatan seperti Forum Kreatif Jatinangor, The Local Enablers, Sahabat Cita, hingga Gerakan 1000 Sepatu.
“Hasilnya pun cukup baik. Jiwa kewirausahaan itu sudah sangat kental di kalangan mahasiswa. Mereka menularkan ke mahasiswa lain, lalu menularkannya ke petani, ke peternak, ke masyarakat luas,” kata dosen Fakultas Teknologi Industri Pertanian Unpad ini.
Salah satu pemberdayaan yang lahir dari gerakan yang ia buat adalah Fruits Up. Ini adalah salah satu usaha memberdayakan petani mangga. Setelah dikembangkan, para petani bisa terdorong untuk mengolah mangga menjadi bahan baku mentah, lalu menghasilkan puree yang kemudian memiliki nilai tambah. Ia menuturkan, ada banyak lagi wirausaha sosial lain yang tengah dijalankan.
Menurutnya, terutama di Indonesia, konsep sociopreneurship memang sangat perlu ditumbuhkembangkan. Sebab, ini berbicara mengenai maslahat bersama. “Kita tidak berbicara soal skala besar, kita berbicara dampak dari sociopreneurship ini. Usaha kecil tak apa, tapi memiliki value, dan dampaknya terasa oleh masyarakat,” jelasnya.
Ia menerangkan, pendekatan sociopreneurship dirancang untuk memiliki rantai manfaat yang panjang. Sebab memang, tujuannya adalah memberikan nilai pada objek sosial yang ditujunya, untuk kemudian, diarahkan agar bisa menyebar nilai guna dan nilai tambah yang besar bagi masyarakat.
Sociopreneurship tidak berbicara perseorangan. Ia berpendapat, jika seseorang ingin memiliki sebuah usaha, ia tak bisa hanya berpikir tentang kemajuan dirinya semata. Setiap orang mempunyai tanggungjawab untuk mendorong masyarakat luas ke arah lebih baik.
Dr. Dwi pun menyatakan optimis dengan perkembangan konsep ini di kalangan pemuda. Menurutnya, sociopreneurship cocok dengan para pemuda dari generasi Y. Mengapa? Sebab, ia mengatakan, konsep ini mewadahi generasi Y untuk berperan. Lain hal dengan generasi X yang lebih mekanistik, dan fokus pada profesi.
“Nah, di generasi Y ini, paradigma berubah. Tidak lagi berprofesi, tapi harus berperan. Peranan ini harus diwadahi dengan media-media yang bagus, sebab ini yang menentukan hasilnya akan berdampak baik pada masyarakat atau tidak,” imbuh Dr. Dwi.
Ini menjadi tantangan tersendiri baginya. Sebagai dosen, ia banyak menggaet para mahasiswanya untuk dijadikan pemberdaya. Dan untuk itu, pertama-tama ia harus memahami karakteristik generasi milenial ini. Baru kemudian sebagai pendidik, ia bisa masuk ke ‘alam’ mereka.
Pelan-pelan, usai mencoba memahami karakter, Dr. Dwi akan membawa mereka ke nilai yang benar, budaya yang baik, hingga mereka memiliki kapasitas yang tinggi. Pun pendekatan yang dilakukan perlu dengan cara yang bagus. Ia menerangkan, tak saja update isu terkini, ia pun harus menyesuaikan dengan keilmuan terkini, lalu disampaikan dengan cara yang menyenangkan.
Bukan tanpa alasan ia begitu giat mengkampanyekan sociopreneurship. Sejak dahulu, Dr. Dwi bercita-cita ingin bisa menyebar ilmu dan kebaikan, untuk kemudian direplikasi banyak orang. Ini, katanya, tak semata berbicara materi, tetapi juga soal menjadi lokomotif kemajuan ekonomi bagi masyarakat sekitar. (agh)