Idul Adha kian dekat. Kian banyak orang yang mengunjungi stan hewan kurban yang aku jual. Suatu hari, datanglah seorang ibu ke standku. Ia mengenakan baju yang sangat sederhana, kalau tidak boleh dibilang agak kumal. Dalam hati aku menyangka ibu ini hanya akan melihat-lihat saja. Aku mengira ia bukanlah tipe orang yang mampu berkurban. Meski begitu, sebagai pedagang yang baik aku harus tetap melayaninya.

“Silahkan Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapaku seramah mungkin. “Kalau kambing itu harganya berapa, Pak?” tanyanya sambil menunjuk seekor kambing yang paling murah. “Itu 2jt Bu”, kataku. “Harga pasnya berapa?” dia bertanya lagi. “Bolehlah 1jt 700 ribu untuk Ibu kalau mau”. Lalu dia menjawab, “Tapi, uang saya Cuma 1jt 500 ribu, Pak. Boleh?” kata ibu itu dengan penuh harap.

Keyakinanku mulai berubah. Ibu ini benar-benar serius mau berkurban. Mungkin hanya tampilannya saja yang sederhana tapi sejatinya ia bukanlah orang miskin. Nyatanya ia mampu berkurban. Akhirnya aku putuskan memberikannya setelah agak lama berpikir. Bagaimana tidak, 1jt 500 ribu itu berarti sama dengan harga beli. Tapi melihat ibu itu, aku tidak tega menolaknya.

Aku pun kemudian mengantar kambing itu ke rumahnya.“Astaghfirullah… Allaahu akbar…” Aku terperanjat. Rumah ibu ini tak lebih dari sebuah gubuk berlantai tanah. Ukurannya kecil, dan di dalamnya tidak ada perabot mewah. Bahkan kursi, meja, barang-barang elektronik, dan kasur pun tak ada. Hanya ada dipan beralas tikar yang kini terbaring seorang nenek di atasnya.

“Emak, lihat apa yang Sumi bawa” kata ibu yang ternyata bernama Sumi itu. Yang dipanggil Emak kemudian menolehkan kepalanya, “Sumi bawa kambing Mak. Alhamdulillah, kita bisa berkurban.”

Tubuh yang renta itu duduk sambil menengadahkan tangan. “Alhamdulillah… akhirnya kesampaian juga Emak berqurban. Terima kasih ya Allah…”

“Ini uangnya Pak. Maaf ya kalau saya nawarnya terlalu murah, karena saya hanya tukang cuci di kampung sini, saya sengaja mengumpulkan uang untuk membeli kambing buat kurban atas nama Emak..” kata Bu Sumi.

Rupanya nenek itu adalah ibu dari wanita yang membeli kambing tadi. Mereka tinggal bertiga dengan seorang anak kecil yang tak lain adalah cucu nenek tersebut. Kaki ini lalu bergetar, saya sungguh malu berhadapan dengan hamba Allah yang pasti lebih mulia ini, seorang yang miskin harta namun kekayaan imannya begitu luar biasa.

Untuk menjadi mulia, ternyata tak harus menunggu kaya. Untuk mampu berkurban, ternyata yang dibutuhkan adalah kesungguhan. Kita jauh lebih kaya dari Bu Sumi. Rumah kita bukan gubuk, lantainya keramik. Ada kursi, ada meja, ada perabot hingga TV di rumah kita. Ada kendaraan. Bahkan, HP kita lebih mahal dari harga kambing kurban.

Tapi, sudahkah kita sungguh-sungguh mempersiapkan kurban? Masih ada waktu sekitar satu bulan. Jika kita sebenarnya mampu berkurban, tapi tak mau berkurban, hendaklah kita malu kepada Allah ketika Dia membandingkan kesungguhan kita dengan Bu Sumi.

Jika kita sebenarnya mampu berkurban, tapi tak mau berkurban, hendaklah kita takut dengan sabda Rasulullah ini: “Barangsiapa yang memiliki kelapangan untuk berkurban namun dia tidak berkurban, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami.” [HR Ibnu Majah, Ahmad dan Al Hakim]

(source : Kisah ini dikutip dari WAG Perpuhi)

————–

Ingin berkurban yang bisa dapat pahala lebih? Ayo bergabung dalam program Green Kurban. Dari satu hewan yang dikurbankan, turut ditanam satu pohon sebagai ikhtiar penghijauan lingkungan.

Cek selengkapnya disini, KLIK : bit.ly/GreenKurban

Kurban via transfer :
BSM 700 546 3108
Mandiri 13000 7004 2000
An. Sinergi Foundation
BCA 008 305 3485
An. Yayasan Semai Sinergi Umat

Hubungi kami untuk info dan konsultasi kurban :
Whatsapp/SMS 081 321 200 100
www.sinergifoundation.org

Assalamualaikum, Sinergi Foundation!