Wakaf dikategorikan sebagai salah satu amal jariyah. Sebab tujuannya adalah untuk menyedekahkan harta untuk kepentingan masyarakat banyak.
Wakaf dinyatakan sah apabila sudah memenuhi 5 unsur, yaitu : wakif (pewakaf), ada harta yang diwakafkan (mauquf bih), penerima manfaat (mauquf alaih), ikrar wakaf (sighat), dan Nazhir (pengelola wakaf).
Sebagaimana hakikat dari wakaf itu sendiri, amalan akan terus mengalir kepada pewakaf apabila aset wakaf terus diproduktifkan dan menghasilkan manfaat untuk banyak orang.
Namun, bagaimana bila harta yang diwakafkan tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya sehingga tidak menghasilkan manfaat? Bolehkah wakaf tersebut diambil kembali oleh pewakaf ataupun ahli waris dari pewakaf?
Dikutip dari hukumonline.com, wakaf yang telah diikrarkan tidak dapat dibatalkan, sehingga dalam kasus ini, ahli waris pewakaf tidak bisa atau tidak berhak mengambil tanah wakaf itu kembali (membatalkan wakaf).
Berdasarkan hadist Rasulullah SAW, pada prinsipnya, tanah wakaf itu tidak boleh diperjual belikan, tidak boleh dihibahkan, dan juga tidak boleh diwariskan (HR. Bukhari).
Begitu pula menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini terutama UU RI No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf yang menyatakan bahwa: “Wakaf yang sudah diikrarkan tidak dapat dibatalkan .” (Pasal 3).
Di dalam UU yang sama pasal 40 juga tertuang : “Harta wakaf yang sudah diwakafkan dilarang: a. dijadikan jaminan; b. disita; c. dihibahkan; d. dijual; e. diwariskan; f. ditukar; atau g. dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.”
Namun demikian, bila Nadzir tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk mengelola harta wakaf, tetap saja harta yang telah diwakafkan tidak dapat diambil atau dimiliki kembali oleh pewakaf ataupun ahli warisnya.
Status barang tersebut akan selamanya menjadi barang wakaf. Adapun bila Nadzir atau pengelola harta wakaf tidak mampu untuk merealisasikan tujuan dari pewakaf maka Nadzirnya boleh diganti.
Demikian halnya apabila harta wakaf itu sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau tidak lagi memberikan manfaat, maka boleh diubah atau diganti dengan yang lebih besar manfaatnya.
Misalnya, harta wakaf berupa tanah yang dipergunakan sebagai pondok pesantren, namun seiring berjalannya waktu manfaat yang dihasilkan tidak besar dan cenderung terabaikan, maka kemudian tanah wakaf tersebut boleh diubah menjadi rumah sakit atau masjid.
Sehingga dalam hal ini, harta yang sudah diwakafkan tidak boleh diambil kembali sebagai hak milik ya, Sahabat.