Di setiap penghujung bulan ramadhan, ada kewajiban yang mengikat setiap individu keluarga muslim, yaitu berzakat fitrah. Tidak terkecuali. Setiap individu, termasuk yang baru lahir sekalipun, terikat pada keharusan itu. Setiap diri harus membersihkan (tazkiyah) eksistensinya sendiri, agar menjadi suci (fitri) kembali. Salah satu misi utamanya sederhana: agar pada hari yang fitri ini, muzakki dan mustahiq, aghniya dan kaum dluafa dapat duduk menikmati kebahagiaan bersama.
Ajaran zakat ini, secara normatif, memiliki spirit sosial yang tidak sederhana. Jika kembali pada petunjuk ajaran Islam, apa yang diisyaratkan ajaran zakat sebetulnya tidak lebih dari petunjuk Tuhan untuk memelihara stabilitas kesejahteraan umat. Melalui pola distribusi secara proporsional, zakat merupakan solusi untuk membagi kekayaan sesuai dengan proporsi yang telah ditentukan. Ia memberikan petunjuk hingga ke tingkat operasional. Siapa yang menjadi sasaran utamanya, berapa besarnya yang harus dikeluarkan muzakki dan diterima mustahiq, semua telah terungkap jelas.
Mungkin, karena alasan seperti inilah, mengapa zakat selalu menjadi perhatian serius sejak zaman Nabi dan para shahabatnya. Dan di lingkungan masyarakat kita, selama sekitar sepuluh tahun terakhir, zakat dan kelembagaannya juga tak pernah henti-hentinya diperbincangkan. Perbincangan terutama bermula dari pertanyaan besar, mengapa potensi kekayaan yang cukup besar itu belum mampu menjawab persoalan kemiskinan yang selama ini melilit kehidupan umat. Padahal, jika dibuat kalkulasi dengan mendasarkan pada argumen bahwa zakat itu merupakan “keharusan”, banyak persoalan kemiskinan akan bisa ditanggulangi.
Namun demikian, kenyataan hingga saat ini memang masih memperlihatkan kondisi kesejahteraan ekonomi yang masih timpang. Komposisi jumlah orang kaya (aghniya) yang tampak terus meningkat belum memberikan solusi atas penyelesaian problem kemiskinan umat. Muncul pertanyaan, mengapa zakat belum memberikan dampak yang berarti bagi penyelesaian kemiskinan?
Sejarah mencatat bahwa, segera setelah Nabi wafat, masalah yang pertama kali muncul dan menjadi perhatian penting khalifah Abu Bakar Shiddiq adalah zakat. Tidak sedikit di antara kaum muslimin ketika itu yang telah biasa berzakat tiba-tiba menolak untuk berzakat. Padahal di sisi lain, ajaran zakat pada masa-masa awal perkembangan Islam bukan saja merupakan salah satu perwujudan dari ketaatan pada perintah Allah dan Rasulnya, tapi juga sekaligus menjadi kekuatan sosial yang berfungsi memperkokoh bangunan kebersamaan di antara sesama. Tidak semua orang di Makkah dan Madinah yang menjadi pengikut Nabi Muhammad saat itu berasal dari lapisan masyarakat atas secara ekonomi. Banyak para hamba sahaya yang tulus menjadi pengikut Nabi, atau orang-orang fakir-miskin dan yatim-piatu, termasuk janda-janda shalihah yang ditinggal suaminya karena gugur di medan perang, dapat tertolong secara sosial oleh tegaknya ajaran zakat.
Tradisi Nabi dalam mengelola zakat untuk kepentingan sosial ini dilanjutkan oleh para shahabat dan tabi’in. Sejalan dengan semakin berkembangnya masyarakat muslim dari waktu ke waktu, pelaksanaan ajaran zakat pun menghadapi permasalahan yang tidak pernah muncul pada zaman Nabi dan para shahabatnya. Maka, karena tantangan munculnya berbagai persoalan seperti itulah hingga pada periode berikutnya lahir satu rumusan petunjuk pelaksanaan perintah Allah ini dalam bentuk yang sekarang disebut fiqh zakat. Berbagai ijtihad dilakukan untuk menemukan solusi pengelolaan zakat agar tetap mampu memelihara semangat sosial, sekaligus memberikan efek spiritual bagi para pelakunya.
Dengan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan empirik sosiologis yang berkembang mengikuti perjalanan masyarakat Muslim dari zaman ke zaman itu pula, seorang pemikir Muslim kontemporer, Yusuf Qardhawi, merumuskan berbagai terobosan fiqhiyah dalam hal pelaksanaan zakat. Berbagai telaah tentang zakat menyebutkan bahwa untuk memelihara tujuan disyariatkannya (maqashid syar’iyah) perintah zakat, diperlukan ijtihad-ijtihad sosial yang akan memberikan efek produktif bagi kemaslahatan umat. Karena itu, untuk mengantisipasi kompleksitas pengelolaan zakat sejalan dengan semakin kompleksnya struktur masyarakat, salah satunya, diperlukan sistem kelembagaan zakat.
Lembaga-lembaga zakat yang di Indonesia saat ini telah diatur melalui undang-undang tersendiri dapat berperan lebih optimal. Ia bukan saja berorientasi pada dimensi mustahiq, tapi juga pada dimensi muzakki. Melalui sistem kelembagaan ini, para amilin bukan saja akan berfungsi sebagai pengumpul dan pendistribusi zakat secara konvensional, tapi juga akan berfungsi sebagai jembatan kehidupan di antara lapisan-lapisan sosial yang sering tampak sangat senjang. Ia bukan hanya memikirkan pola pendistribusian yang cenderung konsumtif, tapi juga akan memasuki wilayah pemberdayaan para mustahiq secara lebih produktif.
Oleh karena itu, lahirnya lembaga-lembaga zakat, termasuk yang berkembang di sejumlah perusahaan besar, akan membuka ruang produktifitas yang lebih besar, dan akan memberikan dampak sosial yang lebih besar pula. Melalui fungsi kelembagaan seperti ini, mekanisme zakat dapat berlangsung dalam alur administratif yang relatif lebih baik, sehingga perolehan serta penyalurannya dari tahun ke tahun akan dilakukan dengan tetap mengacu pada ketentuan normatif tentang muzakki dan mustahiq di satu pihak, dan di pihak lain, setiap muzakki dapat menyerahkan kewajiban zakatnya melalui lembaga secara lebih tertib yang tergabung dalam wadah organisasi BAZ. Kemudian perolehan zakat itu disalurkan kepada mustahiq dalam format yang lebih produktif membina ummat, dengan tetap memperhatikan formula delapan ashnaf seperti dinyatakan dalam al-Qur’an.
Pentingnya kehadiran lembaga pengelola zakat secara implisit telah dinyatakan dalam al-Qur’an. Bentuk “perintah” (amr) yang digunakan al-Qur’an untuk menegaskan kewajiban bagi mereka yang telah memenuhi ketentuan, dapat ditafsirkan sebagai isyarat untuk membentuk suatu sistem yang memungkinkan dapat terlaksananya sesuatu ajaran. Karena itu, jika ajaran zakat ini berhubungan dengan model pengelolaan harta dalam jumlah yang tidak kecil, maka ajaran ini pun mengisyaratkan pentingnya lembaga tersendiri agar pengelolaannya dapat dilakukan secara baik, teratur, jujur dan profesional.
Di sinilah, antara lain, arti penting kelembagaan zakat, terutama dalam upaya merajut kembali kepedulian umat terhadap sesamanya. Kelembagaan zakat yang saat ini banyak berkembang di berbagai instansi pemerintah maupun swasta sejatinya dapat menjadi jembatan emas dalam merajut kepedulian di antara sesama.