Musim panen telah masuk di Kawasan Compreng, Kabupaten Subang. Hamparan sawah sudah banyak yang menguning dan telah siap untuk dipanen. Pada Kamis 8 Maret 2018, pendamping Lumbung Desa Kiarasari, Compreng, berkesempatan mengikuti proses panen di lahan salah satu pemilik lahan Mitra Lumbung Desa, Kurnengsih. Matahari masih terhalang awan di pagi hari, karena hujan panjang pada malam sebelumnya. Akibatnya, pelaksaan panen harus mundur beberapa jam menunggu terik matahari datang.

Lahan yang dipanen seluas 0,5 Ha (2,5 Kotak) yang merupakan hak milik keluarga Kurnengsih. Dalam proses panen, masih dilibatkan buruh tani dari lingkungan tetangga dan keluarga di sekitar kawasan rumah pemilik lahan untuk dilibatkan. Bagi warga desa di kawasan lumbung padi, hal ini adalah sebagai bentuk gotong royong dan kekeluargaan di masyarakat khususnya pada keluarga yang kekurangan dari segi kesejahteraan ekonomi.

Sekitar 8 orang buruh tani dilibatkan dalam proses panen, dari yang bertugas mengarit, merontokkan padi dengan mesin, pengemasan gabah dalam karung hingga penimbangan. Pengupahan buruh tani yang bekerja menggunakan sistem bawon yang masih menjadi salah satu alternatif pengupahan oleh sebagian pemilik sawah di Compreng. Bawon merupakan sistem pengupahan yang berakar dari tradisi, berlandaskan rasa gotong royong dan kepedulian sosial di antara masyarakat tani di sebuah desa. Sebagian pemilik lahan masih menggunakan sistem bawon dalam pengupahan buruh tani yang melibatkan tetangga atau kerabat.

Bawonan merupakan alternatif yang baik bagi sistem pengupahan usaha tani padi. Bagi pemilik lahan hal ini akan menguntungkan, dari segi, tingkat risiko rendah, biaya tanam yang lebih ringan, kualitas kerja buruh yang lebih bagus dan menciptakan ikatan sosial yang lebih erat. Bagi buruh tani yang diupah memiliki kelebihan; keuntungan yang lebih besar, terjaminnya kebutuhan pangan serta terjaminnya pekerjaan di sawah. Karena terorientasi hasil panen yang baik, maka kinerja buruh tani akan dioptimalkan agar mereka mendapatkan hasil panen yang baik pula untuk pengupahan.

Adapun kelemahan sistem bawon bagi pemilik lahan terkadang muncul sikap pakewuh (sungkan) karena sifat kekeluargaan dan kekerabatan dengan buruh tani sehingga segan untuk memerintah dan menyuruh seperti yang dilakukan pemilik lahan pada buruh tani sistem tebasan. Akibatnya akan terjadi kurangnya pengawasan dalam proses panen. Bagi buruh tani kelemahan sistem bawon akan dirasakan ketika gagal panen, jumlah upah panen yang didapat akan mengalami penyusutan yang banyak.

Sistem Bawon biasanya menerapkan bagi hasil 5:1 hingga 6:1, tergantung kesepakatan antara pemilik lahan dan buruh tani. Hal ini berarti rata-rata setiap 5 kg gabah yang didapatkan pemilik, buruh tani berhak mendapatkan 1 kg gabah sebagai upah (Rasio 80 : 20). Untuk yang berlaku di lahan milik Keluarga Kurnengsih berlaku 6:1. Pada kesempatan ini lahan yang dipanen menghasilkan Gabah Kering Panen (GKP) sebanyak 2,6 Ton, yang kemudian dibagi pembagian hasil berdasar sistem upah.

Sebagai salah satu alternatif sistem pengupahan Sistem Bawon memiliki berbagai keunggulan diantaranya dalam aspek sosial, meningkatkan rasa gotong royong, kebersamaan dan tenggang rasa. Orientasi kekeluargaan lebih besar daripada mendapatkan keuntungan. Dari aspek teknis, buruh tani akan bekerja dengan optimal karena bawon akan beriorientasi hasil akhir, apabila teknis produksi baik maka hasil panen yang didapat akan baik juga. Begitu juga dengan teknis panen, buruh tani akan lebih optimal dalam bekerja, untuk mengoptimalkan hasil panenan yang juga akan menjadi upah bagi mereka. Kemudian dalam menjaga kebutuhan pangan keluarga buruh tani, sistem bawon dinilai lebih baik karena gabah yang didapatkan dapat dijadikan persediaan pangan dalam waktu yang panjang dan bisa diuangkan apabila keluarga buruh tani berniat menjual gabah ketika harga sedang baik di luar musim panen.

Ditulis oleh Andrian Nur Ramadhan, pendamping LD Madani Compreng

Ayo Berbagi untuk Manfaat Tiada Henti
Assalamualaikum, Sinergi Foundation!