Keluarga ini bukanlah keluarga biasa. Keluarga ini adalah keluarga sang Nabi. Di dalam bilik-bilik keluarga ini, tarbiyah sang Nabi diwariskan. Keluarga ini bukanlah keluarga kaya. Bukan pula keluarga yang serba berkecukupan. Keluarga ini dikenal sebagai keluarga yang begitu sederhana.
Di bilik ruang sederhana ini, sejoli saling menatap. Sahabat Nabi yang juga menantu sang Nabi kembali merasakan kelaparan yang hebat. Sifatnya benar-benar mirip sang Nabi, yang begitu bersahaja, atau bisa dibilang melarat.
Kepada istrinya, sang menantu Nabi ini berseloroh, “Adakah makanan yang bisa aku santap wahai Fatimah?”
Fatimah hanya menghela nafas. ”Tidak ada, demi Dzat yang memuliakan ayahku dengan kenabi-an, aku berpagi hari dalam kondisi tidak memiliki makanan antukmu, kami juga belum makan, sudah dua hari ini tidak ada makanan yang aku bisa berikan padamu, juga kepada perutku dan kedua anak kita ini,” sahut Fatimah.
“Wahai istriku, tidakkah engkau menyuruhku untuk mencari makanan?” tanya Ali.
“Aku malu kepada Allah untuk meminta sesuatu yang engkau tidak bisa melakukannya,” jawab Fatimah.
Sejenak kemudian, Ali keluar dari rumahnya, dengan penuh keyakinan kepada Allah dan husnuzan kepada-Nya, meminjam sekadar satu dinar uang.
Ketika dinar telah ada di tangan, dan ia bermaksud untuk membeli sesuatu yang dapat meringankan beban keluarganya, tiba-tiba terlihat Miqdad yang sedang berjalan di atas pasir yang membara di bawah terik matahari yang membakar, tatkala Ali melihatnya, ia menghindar.
“Hai Miqdad, apa yang menggelisahkanmu saat ini?” tanya Ali.
“Hai Abul Hasan, jangan ganggu aku, jangan bertanya apapun padaku.”
“Wahai keponakanku, tidak boleh engkau menyembunyikan keadaanmu padaku,” kata Ali.
Miqdad berkata, ”Jika engkau memaksa, demi Dzat yang memuliakan Muhammad dengan keNabian, tidak ada yang menggelisahkanku selain beban yang berat, aku meninggalkan keluargaku dalam keadaan kelaparan, ketika aku mendengar tangis mereka bumipun tak kuat memikulku, aku pun pergi dengan kehilangan mukaku, inilah kondisiku.”
Saat itu juga kedua mata Ali ibn Abi Thalib tiba-tiba mengucurkan air mata, ia menangis hingga air mata membasahi jenggotnya seraya ia berkata lirih, ”Demi Dzat yang engkau bersumpah denganNya, tidaklah menggelisahkanku selain sesuatu yang menggelisahkanmu, aku telah meminjam uang satu dinar, ambillah ini, aku dahulukan engkau atas diriku.”
Dinar kini telah berpindah tangan, lalu Ali-pun pulang, ia datang ke masjid sang Nabi untuk shalat zuhur. Tak henti-hentinya Ali yang sudah berikhtiar berdoa kepada Allah memohon diberikan jalan agar hari ini bisa meneguk segelas air.
Doa yang begitu khusyuk di Masjid Nabawi. Tak terasa, kemuning senja sudah menyepuh langit Madinah. Usai shalat maghrib, sang Nabi menghampiri Ali di shaf pertama. Rasulullah memberi isyarat Ali-pun mengikuti langkah beliau, ketika sampai di pintu masjid, Rasulullah bertanya, “Hai Abul Hasan, apakah kamu punya makanan untuk kita makan malam?”
Ali tersentak kaget, ia tidak bisa memberi jawaban karena malu kepada Rasulullah. Sejurus kemudian Rasulullah berkata: ”Jika kamu berkata tidak, aku akan pergi tapi jika iya aku akan datang bersamamu.”
”Ya, Rasulullah, silakan datang ke rumahku, mari..” kata Ali
Maka Rasulullah yang mulia itu menggandeng tangan menantunya Ali ibn Abi Thalib hingga masuk menemui Fatimah di mushalla-nya, sedang di belakangnya terlihat sebuah mangkok besar yang berasap.
Ketika Fatimah mendengar suara ayahnya, Rasulullah, iapun keluar menyongsongnya seraya memberi salam. Fatimah adalah orang yang paling sayang kepada Rasulullah, beliau menjawab salam putrinya lalu mengusap kepalanya dengan tangan beliau yang mulia.
“Bagaimana malam ini? Siapkan kita makan malam, semoga Allah mengampunimu, dan Dia telah melakukannya.” sabda Rasulullah.
Maka Fatimah mengambil mangkok besar itu lalu di letakkan dihadapan ayahnya yang mulia. Ketika Ali melihatnya dan mencium aroma masakan yang lezat, ia melemparkan pandangannya kepada Fatimah dengan pandangan keheranan.
“Alangkan tajamnya pandanganmu, Subhanallah.. apakah aku berbuat kesalahan padamu hingga membuatmu demikan marah?” tanya Fatimah tak kalah heran.
“Apakah ada dosa yang lebih besar yang kau perbuat selain dosamu hari ini? Bukankan aku menjumpaimu tadi pagi dan engkau bersumpah demi Allah bahwa engkau tidak punya makanan dan belum menyantapnya selama dua hari?” sahut Ali.
Fatimah menengadahkan wajahnya ke arah langit sambil berkata: “Tuhan-ku Maha Tahu apa yang ada di langitNya dan apa yang ada di bumiNya, aku tidak berkata kecuali hal yang benar.”
“Lalu dari mana makanan ini, makanan yang belum pernah aku melihatnya, tidak pernah mencium aromanya dan tak pernah memakannya sebelum ini?” tanya Ali.
Ketika itu Rasulullah meletakkan tangan beliau yang penuh berkah itu di pundak Ali sembari menguncang-guncangkannya seraya berkata : “Ya Ali, inilah pahala dinar-mu, inilah balasan dinar-mu, ini dari sisi Allah yang memberi rezeki kepada siapa yang Ia kehendaki.”
Sambil menangis Rasulullah yang mulia berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah mengeluarkan kalian berdua dari dunia, hai Ali engkau laksana Zakariya as dan engkau Fatimah laksana Maryam.”
Rasulullah membacakan QS Ali Imran: 37,
“Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
(Disarikan dari Inilah Balasan dari Dirhammu, Ibnu Hasan At Thabari)