Oleh : Prof. Dr. KH Miftah Faridl 

(Ketua Dewan Pembina Sinergi Foundation)

Sudah sepekan berlalu, suara takbir penanda Ramadan 1438 H berakhir. Takbir itu bergema di seantero dunia, sekaligus menggambarkan wujud kesatuan ummat (tauhidul ummah) yang terikat pada bangunan tauhidullah. Setiap individu mengucap kata yang sama, membesarkan nama yang sama, dan mengekspresikan perasaan yang sama. Kalimat dari hamba Allah yang senantiasa merindukan cinta dan kasih sayang-Nya.

Inilah hikmah kebersamaan yang menjadi buah ibadah puasa. Sebagai salah satu hadiah besar yang disediakan Allah bagi mereka yang berhasil menuntaskan kewajibannya selama bulan Ramadan.

Jumat ini, baru saja sepekan kita meninggalkan bulan yang agung, bulan istimewa, bulan pembersihan diri. Bulan itu sekaligus yang telah memberikan banyak hikmah untuk kita mampu menata masa depan menuju lebih baik. Jumat ini pula seharusnya kita dapat memulai segalanya dalam suasana yang serba bersih tanpa noda apapun; tulus tanpa ganjalan ataupun hambatan. Dan besok, sejatinya kita telah menuai hasil kesalihan individu maupun sosial sebagai buah ketakwaan yang menjadi tujuan utama disyariatkannya puasa.

Bulan Ramadan telah kita lalui bersama. Bulan diturunkannya Alquran, dengan pesan pertamanya yang tersimpul dalam kalimat “iqra!“, Bacalah! Inilah gerbang revolusi peradaban umat manusia. Sebuah perintah untuk membangun kesadaran intelektual sebagai kunci kemajuan suatu masyarakat, di mana pun dalam sejarah manusia. Sebab hanya dengan kata kunci itu, kualitas umat akan terbangun, dan harga diri bangsa pun dapat dibanggakan. Jika tidak dengan itu semua, jangan mimpi kita dapat menjadi bangsa yang besar, bangsa yang diperhitungkan bangsa-bangsa lain di dunia.

Dengan membaca, Rasulullah SAW berhasil membangun peradaban yang kokoh dan sarat makna. Sebuah peradaban yang membentuk konfigurasi bangunan masyarakat madani yang kemudian menjadi model ideal kehidupan umat manusia. Membina pribadi-pribadi yang tumbuh menjadi masyarakat di atas semangat uswatun hasanah. Hingga kini, peradaban itu masih tetap memancar dalam berbagai literatur dan sejumlah kekayaan sejarah lainnya.

Dengan membaca pula, Islam terus menembus setiap pojok kehidupan umat manusia. Hingga saat ini, kita menjadi bagian dari pengikut-pengikutnya. Tidak sedikit pengikut Islam di dunia saat ini. Meski kita masih sering merintih, lantaran besarnya jumlah masih belum mencerminkan tingginya kualitas.

Berkorban untuk sesama Muslim

Kalau saja kita sadar betapa masih sangat rapuhnya umat kita saat ini, kita tidak akan pernah sanggup bercermin karena rasa malu atas kelalaian telah membiarkan umat seperti ini. Mungkin kita merasa telah banyak berbuat untuk masyarakat dan bangsa. Tapi, faktanya masih menggambarkan betapa keringat kita masih belum sanggup memadamkan api kesengsaraan saudara-saudara kita.

Jika kita merasa pernah berkorban untuk bangsa, maka pengorbanan kita pun masih belum sanggup meredam suara tangis di sejumlah tempat musibah di sudut-sudut dunia. Terutama di negeri-negeri Muslim yang masih dilanda bencana alam ataupun kemanusiaan. Suriah, tengah didera tragedi kemanusiaan. Somalia, Sudan, dan berbagai negeri Muslim lainnya.

Tidak terbayangkan, betapa bahagianya kita. Kita tidak berada bersama mereka. Kita tidak menangis. Kita tidak kelaparan. Kita masih tetap bisa berkumpul dan tersenyum bersama keluarga. Ketika Ramadan tiba, kita bisa makan sahur dan berbuka puasa. Kita tetap masih bernapas lega; padahal mereka semakin sesak menaham pilu menghadapi musibah. Kita masih mampu menikmati makanan setiap hari; padahal mereka terpaksa harus menahan lapar. Kita masih bisa tidur nyenyak di rumah-rumah mewah; padahal mereka hanya mampu berlindung di bawah tenda-tenda darurat.

Lalu, apa yang dapat kita bagi dari kebahagiaan yang kita miliki? Dapatkah sudara-sudara kita merasakan kebahagiaan yang sama, jika kita tidak peduli untuk membaginya bersama mereka. Akankah kita membiarkan mereka tetap dalam lilitan kemiskinan yang semakin tidak jelas ujung solusinya? Ingatlah, bahwa di antara kebahagiaan yang kita nikmati ini, ada hak orang lain untuk juga merasakan kebahagiaan, meski besarnya tidak seberapa.

Perjalanan kita dari Ramadan yang satu menuju Ramadan berikutnya, tidak lebih dari sekadar kumpulan pengalaman pahit yang sulit beranjak menjadi lebih baik. Berapa kali Ramadan telah kita lalui. Tapi berapa kali lipat pula pertambahan jumlah saudara kita yang miskin dan papa. Bahkan secara umum, ada indikasi yang cukup memprihatinkan bahwa dari tahun ke tahun produktivitas bangsa kita pun semakin menurun.***

Ayo Berbagi untuk Manfaat Tiada Henti
Assalamualaikum, Sinergi Foundation!