Sahabat, perkara qadha memang menjadi PR, terutama bagi perempuan yang mengalami fase haid, hamil, hingga menyusui.

Menurut banyak ulama, masa melunasi (qadha) yang baik adalah sejak selesai bulan Ramadhan sampai datang Ramadhan berikutnya.

Kalau berlalu Ramadhan berikut tanpa sempat menggantinya, kewajiban tersebut tidak gugur, dan puasanya di Ramadhan berikutnya tetap sah.

Para ulama berbeda dalam menyikapi kewajiban qadha yang tertunda (melewati Ramadhan berikutnya). Kalau tertundanya pelaksanaan qadha itu atas dasar alasan syar’i,  seperti sakit sepanjang tahun atau hal-hal lain yang menyulitkannya untuk mengganti, para ulama sepakat hanya berkewajiban mengganti puasa (qadha) saja.

Namun, bila tertundanya itu tanpa alasan syar’i, menurut ulama mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan banyak ulama lainnya, ia berkewajiban mengganti (qadha) dan membayar kaffârah (penutup dosa) akibat keterlambatan itu.

Kaffârah itu berupa fidyah (tebusan) dengan memberi makan seorang miskin. Besar fidyahnya adalah satu mud makanan pokok, sebanyak hari yang ditinggalkannya.

Kalau penundaannya bertahun-tahun, menurut mazhab Syafi’i, fidyahnya berlipat sebanyak tahun yang tertunda.

Memang ada ulama lain dari kalangan mazhab Hanafi dan Imam al-Nakha’i mengatakan, tidak berkewajiban untuk membayar fidyah sebab tidak ada landasannya dari hadis-hadis yang sahih dari Nabi kecuali hanya pendapat atau riwayat dari para sahabat.

Pandangan para Sahabat Nabi yang mewajibkan fidyah patut diikuti sebagai bentuk anjuran sebab menutupi keteledoran dalam ibadah dengan bersedekah sangatlah baik. Wallahu a’lam.

Source: Republika

Ayo Berbagi untuk Manfaat Tiada Henti
Assalamualaikum, Sinergi Foundation!