Cara pandang pembangunan di negeri ini sudah lama keliru. Ibukota sebagai pusat pemerintahan seringkali diartikan, diyakini, hingga dipaksakan juga jadi pusat pembangunan. Sikap pandang ini akibatnya menular kepada ibu kota provinsi, ibu kota kabupaten, dan kota madya yang mereplika jadi pusat kebijakan sekaligus pusat pembangunan. Walhasil,konsentrasi pembangunan kini sungguh-sungguh terpusat di kota-kota. Terjadi kepincangan pembangunan, ketidakadilan pusat dan daerah, kota dan desa. Akibatnya, terjadi perapuhan sistemik yang merongrong kekuatan negara dan stabilitas sebagai sebuah bangsa.
Kondisi yang timpang ini akhirnya menarik arus urbanisasi, dimana warga memilih meninggalkan desanya dan pindah ke kota. Dampaknya, pengolahan sawah, kebun, dan ladang pun terbengkalai. Dengan ditinggalkannya desa oleh warga terbaiknya, tidaklah mengherankan bila disebutkan 71.000 dari 78.000 desa dikategorikan sebagai desa tertinggal. Fenomena beralihnya kepemilikan serta alih fungsi lahan pun tak lagi terhindarkan.
Kini, 88% petani memiliki lahan rata-rata hanya 0,5 ha. Lahan yang untuk kebutuhan sendiri pun tak cukup. Percayakah Anda bahwa ternyata 80% penghasilan petani untuk kebutuhan sehari-hari ternyata bukan dari pertanian, tapi dari pekerjaan lainnya, semisal tukang ojek atau buruh bangunan? Bila sudah begini, masih layakkah petani dianggap petani? Adalah hal yang terasa wajar, bila akhirnya mereka menganjurkan anaknya sendiri untuk tidak menjadi petani.
Berkurangnya lahan, menurunnya hasil pertanian, dan sulitnya regenerasi petani pun mengarahkan Indonesia dalam kondisi “gawat darurat”. Impor pangan telah mencapai 80%. Suatu kondisi tragis bagi negara agraris. Kedaulatan pangan terancam, berganti oleh krisis. Untuk sementara, krisisnya terselamatkan oleh kebijakan impor. Hanya saja, bila kelak negeri pengekspor ini pun mengalami krisis, siapkah kita dengan badai yang menghantam?
Kekhawatiran ini memicu lahirnya program “Lumbung Desa”, sebuah program yang dirancang oleh Sinergi Foundation sebagai upaya untuk mengangkat harkat dan martabat desa, khususnya para petani. Dampak luasnya, menciptakan kedaulatan pangan di negeri tercinta.
Lumbung Desa merupakan program ketahanan pangan dalam bentuk gerakan pembentukan usaha produktif yang berbasis kepada potensi lokal pedesaan, seperti sawah, kebun, ternak, dan home industry, melalui proses peningkatan produksi, pengelolaan dan pemasaran pangan, yang dikelola dengan pendekatan social enterprise. Dengan demikian,akan tercipta desa mandiri pangan dimana desa sebagai sumber pangan Indonesia.
Melalui Program Lumbung Desa, pertanian sebagai basis usaha bukan hanya sebagai sumber pendapatan mereka, tetapi juga menjadi benteng sosial komunitas. Dengan konsep Lumbung Desa ini, peran desa dapat mendorong kemajuan secara umum melalui dukungan akan pasokan pangan untuk konsumsi masyarakat luas. Wallohu ‘Alam. (Saji Sonjaya)