The future belongs to those who having good social lives and still talk to strangers not in a foreign language. Today, I do both.”

PREFACE

Bicara sawah juga bicara kemiskinan di negeri ini. Data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2013, menyajikan gambaran bahwa jumlah masyarakat miskin di Indonesia sebanyak 28,59 juta jiwa, 37% berada di perkotaan dan 63% di pedesaan. Di jawa Barat jumlah masyarakat miskin sebanyak 4,42 juta jiwa, 61% di perkotaan dan 39% di pedesaan.

Peranan komoditas makanan yang memberikan sumbangan terbesar pada garis kemiskinan baik di perkotaan maupun di pedesaan pada umumnya yaitu beras yang memberi sumbangan sebesar 26,92% di perkotaan dan 33,38% di perdesaan.Kontributor terbesar penduduk miskin selama ini adalah profesi buruh tani dan petani (kecil dan penggarap). Saat ini, jumlah buruh tani sekitar 5 juta orang dan jumlah rumah tangga usaha tani (RUT) diperkirakan mencapai 17,8 juta (15 juta di antaranya adalah rumah tangga usaha tani padi).

Dan kini, 88% petani memiliki lahan rata-rata hanya 0,5 ha. Lahan yang untuk kebutuhan sendiri pun tak cukup. Percayakah Anda bahwa ternyata 80% penghasilan petani untuk kebutuhan sehari-hari ternyata bukan dari pertanian, tapi dari pekerjaan lainnya, semisal tukang ojek atau buruh bangunan. Berkurangnya lahan, menurunnya hasil pertanian, dan sulitnya regenerasi petani pun mengarahkan Indonesia dalam kondisi “gawat darurat?. Suatu kondisi tragis bagi negara agraris. Kedaulatan pangan terancam, berganti oleh krisis.

BUKAN PEMBINAAN, MELAINKAN PEMBELAJARAN KEHIDUPAN

Berbeda dengan kunjungan-kunjungan pada bulan-bulan sebelumnya, pembinaan rutin bulanan kali ini dikemas secara berbeda. Untuk kali pertama, kami para penerima manfaat Beasiswa Pemimpin Bangsa, khususnya angkatan IV dan V, diajak secara langsung untuk terjun ke masyarakat dan melihat salah satu program Sinergi Foundation yang bergerak di bidang pertanian dan pemberdayaan umat yaitu Lumbung Desa. Lokasi kunjungan kami terletak di sebuah kampung yang secara geografis terletak di Desa Lengkongjaya, Kecamatan Cigalontang, Kab. Tasikmalaya, Jawa Barat.

Sebagai informasi, Lumbung Desa merupakan salah satu program Sinergi Foundation sebagai bentuk program ketahanan pangan dalam bentuk gerakan pembentukan usaha produktif yang berbasis kepada potensi lokal pedesaan, seperti: sawah, kebun, ternak maupun home industry. Upaya ini diwujudkan melalui proses peningkatan produksi. Inti Lumbung Desa adalah mengembalikan desa kepada khitahnya: Desa sebagai sumber pangan Indonesia. Suatu konsep yang layak diapresiasi mengingat banyak desa-desa potensial di Indonesia yang sudah berubah dari akar hakikatnya sebagai sebuah desa.

JATUH CINTA PADA PANDANGAN PERTAMA

Penerimaan hangat dan sikap terbuka secara pribadi saya rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di kampung ini. Setiap pasang mata yang saya temui dalam perjalanan merupakan mata-mata yang hangat dan siap menyambut kami. Tidak ada satupun senyum yang terlewatkan dari setiap wajah yang kami temui. Orangtua, anak-anak, remaja, semuanya melakukan hal yang sama. Saya merasa bukan orang asing ketika menginjak tanah yang sebenarnya baru kali pertama saya kunjungi ini. Bagi saya yang sudah sekian lama tidak membuka mata saya terhadap suasana desa seperti ini, saya langsung jatuh cinta ketika menyadari bahwa dibalik hiruk pikuk kemacetan dan gedung-gedung tinggi yang sering saya jumpai di Jakarta dan Surabaya, masih ada desa-desa yang menjaga keasrian alamnya sedemikian rupa. Tidak salah lagi, saya benar-benar jatuh cinta.

Berjalan memasuki area kampung, saya lebih dibuat jatuh cinta lagi. Usai berjalan dari tempat parkir minibus ke kampung yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat, saya puas dengan pemandangan yang ada di depan saya saat itu. Bukan, ini bukan tentang pemandangan alam yang hijau nan indah. Tapi sebuah gapura dari bambu sederhana yang berhasil mencuri perhatian saya. Gapura-gapura semacam ini sering saya lihat, baik di kampung-kampung lain maupun di koran dan televisi. Namun yang satu ini beda. Sebelum memasuki gapura tersebut, ada sebuah portal –yang juga terbuat dari bambu- yang dipasang untuk menandai setiap kendaraan bermotor yang keluar masuk. Lantas, apa yang spesial ?

Tepat di atas portal tersebut, tergantung sebuah spanduk berukuran besar yang menjelaskan tentang skema sederhana keluar-masuk kendaraan bermotor di kampung tersebut. Intinya, setiap kendaraan bermotor yang melintas tidak diperkenankan begitu saja melintas. Melainkan dikenakan biaya retribusi yang nantinya dana tersebut akan digunakan sebagai biaya pemeliharaan jalan. Setiap motor yang melintas dikenakan Rp.500,- , Rp.5.000 untuk mobil kecil dan Rp.15.000,- untuk jenis mobil engkel. Menarik bukan ?

Sejenak saya jadi teringat dengan perjalanan saya di Singapura setahun yang lalu. Saya masih ingat ketika melintas memasuki kawasan Orchard Road, salah satu kawasan Central Bussines District di Singapura, mobil yang saya tumpangi berbunyi “dip dip”. Karena baru pertama kali berkunjung, saya bertanya kepada LO (Liason Officer) saya terkait hal tersebut. Dia akhirnya menceritakan panjang lebar tentang mekanisme Electronic RoadPricing (ERP). Singkatnya, ERP adalah strategi yang digunakan pemerintah Singapura untuk menekan angka moda transportasi yang ada di jalanan dan mengurai kemacetan. Dengan penerapan tarif yang dibebankan setiap melewati ruas jalan rawan macet, pemilik kendaraan akhirnya berpikir dua kali untuk naik transportasi pribadi dan mungkin akan berpindah ke moda transportasi umum.

Serupa dengan ERP, saya rasa apa yang dilakukan oleh masyarakat kampung ini telah berhasil mengimplementasi “mini ERP” dengan konsep yang jauh lebih sederhana dari apa yang telah dilakukan singapura. Jadi, alih-alih mengetahui bahwa dana yang didapat digunakan sebagai pemeliharaan jalan, saya melihat bahwa keuntungan dari implementasi gapura tersebut lebih dari itu. Masyarakat akan berfikir dua kali ketika hendak menggunakan kendaraan bermotor –karena biayanya bisa digunakan untuk keperluan lain semacam membeli beras dan lauk-, menekan polusi udara serta menekan jumlah kecelakaan dan tabrakan mengingat banyak anak-anak yang berlalu lalang di wilayah kampung ini. Sebuah pencapaian yang luar biasa dan menjadi pembuka yang manis dari kunjungan saya ke kampung ini. Saya semakin tidak sabar untuk melihat kejutan apa lagi yang akan membuat saya semakin jatuh cinta dengan kampung ini.

SATU UNTUK JABAR DAN JAMUAN KELAPA MUDA

Setibanya di kampung, rombongan kami bergegas menuju musholla untuk melaksanakan sholat dhuhur. Musholla di kampung tersebut letaknya bersebelahan persis dengan sebuah sekolah Madrasah Ibtidaiyah yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat kampung tersebut. Bangunannya sederhana, hanya terdiri dari satu ruangan kelas besar tanpa sekat dan tiang bendera merah putih di depan gedung khas bangunan sekolah dasar. Entah mengapa, kampung ini cukup lihai dalam mencuri perhatian saya. Di sebelah dinding sekolah tersebut, terdapat sebuah typography bertuliskan “Satu Untuk Jabar” yang menurut saya sangat instagram-ablekeren.

Selama di kampung ini, rasanya saya tidak diberi kesempatan untuk merasakan jeda antara satu kejutan dengan kejutan berikutnya. Usai sholat, mata kami dimanjakan oleh deretan kelapa muda yang menggiurkan. Lengkap dengan jajanan sunda yang ditata sedemikian rupa oleh ibu-ibu berkerudung yang sedari tadi saya lihat sibuk menyiapkan makanan dan minuman. Ah, gotong royong. Sudah berapa lama saya tidak melihatnya ?

Lelah dan letih setelah hampir enam jam duduk di bangku mini bus terbayar lunas dengan segarnya kelapa muda yang mengaliri kerongkongan saya. Jajanan manis khas sunda juga berhasil mengusir kantuk saya dan semakin membuat saya penasaran kejutan apa lagi yang akan saya dapatkan.

SEPOTONG CERITA TENTANG KEHIDUPAN DAN KEBERMANFAATAN

Usai menimati jamuan, kami semua berkumpul di ruang kelas madrasah. Salah seorang ustadz yang banyak memegang andil dalam program lumbung desa di kampung tersebut mulai bercerita tentang masa kecilnya, bagaimana keadaan kampungnya pada masa yang lalu dan bagaimana kampungnya yang ia lihat dengan matanya sendiri pada hari ini. Dialog campuran Indonesia-Sunda membuat suasana mencair dan tak terkesan tegang.

Beliau mulai bercerita tentang bagaimana kampung yang sama dengan masa yang berbeda beberapa tahun yang lalu. Ia masih ingat bagaimana kejamnya pasar dan ketidakberpihakan pada petani. Mulai dari membeli pupuk, yang menentukan harga adalah penjual pupuk. Membeli benih, yang menentukan harga juga penjual benih. Memakai lahan juga harus menyewa lahan milik tengkulak. Bahkan pada saat beras siap dijual pun, petani masih tidak diberi kesempatan untuk menentukan harga. Lagi-lagi tengkulak yang memegang peran dalam menentukan harga. Hal tersebut terjadi selama bertahun-tahun hingga akhirnya bencana datang melanda desa tersebut pada tahun 2009.

Bencana angin puting beliung yang melanda kampung tersebut mengakibatkan beberapa kerusakan yang terjadi pada bangunan di beberapa rumah. Tidak hanya itu banyak lahan sawah yang rusak dan tidak dapat dipanen. Awalnya, warga mengira bencana tersebut akan membuat keadaan kampung mereka semakin buruk. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Selalu ada hikmah dibalik setiap peristiwa. Mereka percaya hal itu dan hal itu benar-benar terjadi. Setelah bencana, banyak pihak-pihak yang memberikan bantuan kepada kampung tersebut. Nah, momen tersebut akhirnya berhasil menjadi turning point bagi kampung tersebut untuk berubah menjadi kampung mandiri, penuh inovasi dan berkembang dengan caranya sendiri seperti yang saya lihat hari ini.

Sinergi Foundation merupakan salah satu pihak yang juga mengulurkan bantuan bagi kampung ini. Melalui programnya yang bernama Lumbung Desa, Sinergi Foundation mencanangkan sebuah gagasan sebagai upaya mengembalikan desa kepada hakikatnya: Desa sebagai sumber pangan Indonesia. Mengangkat harkat dan martabat desa, khususnya para petani. Dampak luasnya, menciptakan kedaulatan pangan di negeri tercinta.

Tentu bukan pekerjaan sehari dua hari. Diperlukan kerja kolektif, sinergi dari seluruh elemen terkait untuk mewujudkannya. Berpikir lantas beraksi. Meningkatkan daya saing desa, dengan langkah-langkah akseleratif, tanpa menanggalkan kearifan lokal yang sudah menjadi bagian dari nafas kehidupan.

Lumbung desa. Kultur sederhana, tapi begitu dalam maknanya. Bagaimana masyarakat desa yang kerap disebut sebagai masyarakat terbelakang, justru berpikir jauh ke depan. Kesadaran untuk mengelola karunia Allah Ta’ala, berupa cadangan hasil panen agar bisa bertahan hingga musim berikutnya, bahkan dapat digunakan membantu sesama yang membutuhkan, Luar biasa.

Belum cukup sampai disitu, Ustadz tersebut juga bercerita tentang bagaiman warga di kampungnya mulai sadar akan nilai-nilai kebersamaan, kehidupan dan pentingnya pendidikan. Menurut beliau, untuk mencapai sebuah perubahan diperlukan tekad, kerja keras, niat yang tulus serta bagian yang paling susah dan penting : kesabaran. Beliau tidak mengelak bahwa banyak tantangan dan halangan yang beliau dapat selama mengajak masyarakat ke arah perubahan. Namun beliau menjawab bahwa cara mengajak yang paling baik adalah dengan memberi contoh dan menjadikan teladan bagi orang lain. Hal ini ternyata cukup ampuh. Beliau mengambil salah satu contoh. Beliau memiliki program tabungan yang dananya didapat dari warga yang hendak menyisihkan sebagian penghasilannya.

Pada awal-awal berjalannya program, pesertanya hanya sedikit. Banyak warga yang masih menganggap remeh dan belum tahu apa itu manfaat menabung. Namun seiring berjalannya waktu, warga yang telah bergabung menjadi anggota akhirnya mulai merasakan manfaat. Mereka bisa meminjam tabungan tersebut disaat keadaan darurat seperti melahirkan. Mereka bisa meminjam untuk kredit barang elektronik serta hasil tabungan dibagikan beberapa hari menjelang hari raya yang tentunya cukup menguntungkan. Karena melihat manfaat inilah, warga lain akhirnya mulai ikut dan bergabung. Hingga saat ini anggotanya cukup banyak dan dapat merasakan manfaatnya. Tidak hanya tabungan, hal ini juga berdampak pada berbagai aspek. Misalnya nilai gotong royong yang semakin kuat. Intinya, memastikan kebermanfaatan terus berputar pada porosnya.

IKAN DI KOLAM DAN TANGAN-TANGAN NAKAL

Bicara tentang kehidupan, Ustadz tersebut mengingatkan kita kembali pada pentingnya salah satu aspek penting dalam hidup kita : pendidikan. Dengan pendidikan, perubahan akan berjalan ke arah yang baik dan bermanfaat. Dengan pendidikan, kita bisa selangkah di depan dalam mengatasi aneka permasalahan di muka bumi yang semakin lama semakin kompleks. Hal inilah yang kemudian menjadi cikal bikal gagasan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah secara swadaya di lingkungan kampung tersebut.

Konsepnya sederhana. Gagasan ini dimulai oleh warga di kampung ini mengingat urgensi pendidikan dasar di kampung mereka. Mereka sadar, tanpa landasan edukasi yang baik, pencapaian yang telah dicapai oleh kampungnya tidak akan bisa bertahan lama. Mereka perlu mempersiapkan generasi emas penerus mereka, dengan pendidikan yang terbaik tentunya. Para penggagas sekolah ini memiliki satu prinsip. Menjadikan pendidikan sebagai kebutuhan, bukan beban. Setiap anak yang bersekolah tidak dikenakan biaya sekolah sepeserpun. Semua biaya staff pengajar dan perangkat pendidikan di sekolah tersebut dibiayai secara swadaya melalui pendapatan bertani dari hasil lumbung desa. Tidak terbayang bukan, program yang awalnya bertujuan menguatkan ketahanan pangan dapat melebar menyentuh akses kebermanfaatan yang luas.

Selain dari dana tersebut, pengelola sekolah ini juga menerapkan strategi yang cukup menarik. Setiap siswa dikenakan biaya sekolah yang dihitung berdasarkan jumlah lubang sholat berjamaah yang mereka lakukan lima waktu dalam sehari. Setiap 1 kali bolos, akan dikenakan Rp.1.000,- untuk satu kali sholat. Bisa dibayangkan berapa besar biaya yang harus mereka keluarkan ketika tidak sholat selama satu bulan penuh bukan ? Sebuah cara inspiratif untuk mengajak anak-anak berhemat dan taat beribadah dalam waktu yang sama. Lagi-lagi, luar biasa.

Lalu mengapa dengan Madrasah ? Ustadz tersebut percaya bahwa untuk menjadi manusia seutuhnya, tidak cukup jika mengandalkan pikiran dan apa yang ada di dalam kepala kita. Dibalik semua itu, diperlukan iman dan islam serta nilai-nilai budi pekerti yang baik sebagai landasan bagi manusia dalam bertingkah laku. Beliau mengibaratkan hal tersebut seperti kolam ikan dan tangan-tangan nakal. Bagi ikan yang memiliki kolam yang dangkal, akan mudah terombang-ambing jika ada tangan-tangan nakal yang mengobak-abik kolam tersebut. Dan kekuatan ikan akan berbanding lurus dengan dalamnya kolam yang ia miliki. Kolam tersebut diibaratkan adalah keimanan dan ketaqwaan kita. Semakin kuat iman dan taqwa kita, Insya Allah  akan semakin mantap pula diri kita ketika menghadapi sebuah godaan dari “tangan-tangan nakal” yang hendak mengombang-ambingkan jalan hidup kita. Sebuah sesi inspirasional yang luar biasa.

SEPIRING SINGKONG DAN PERCAKAPAN IMAJINER

Usai sesi diskusi yang cukup menginspirasi, kami dibagi menjadi belasan kelompok yang disebar untuk turun langsung dan berdiskusi dengan warga sekitar. Saya mendapat kelompok 16 bersama Fikri, Mahasiswa Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) Institut Teknologi Bandung (ITB). Kami berdua mengunjungi salah satu rumah warga yaitu Bapak Muslih dan Ibu Jaliho yang rumahnya digunakan sebagai pusat Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU) di kampung tersebut.

Saya sering melakukan diskusi dengan masyarakat. Namun harus saya akui, diskusi hari ini merupakan diskusi paling berkualitas dan paling bernilai yang pernah saya lakukan. Setiap pertanyaan yang keluar dari mulut saya, dan setiap jawaban yang dilontarkan oleh keluarga tersebut kepada kami bukan kalimat-kalimat klise yang dibuat-buat dan terkesan formalitas. Melainkan sebuah percakapan imajiner yang keluar dari dalam hati masing-masing.

Dua gelas air putih hangat lengkap dengan sepiring singkong menemani percakapan kami siang hari tersebut. Percakapan dibuka ketika Ibu tersebut menceritakan bagaimana kondisi kampung mereka sebelum adanya program Lumbung Desa. Tentang mahalnya harga pupuk, sulitnya membelih benih dan campur tangan para tengkulak yang memberatkan dijelaskan secara jelas sehingga saya sanggup membayangkan apa yang terjadi saat itu. Hingga akhirnya program Lumbung Desa diimplementasikan di desa mereka.

Melalui program ini, banyak yang berubah. Setiap detil dalam desa ini benar-benar dimanfaatkan semaksimal mungkin. Mulai dari mengumpulkan kotoran-kotoran kambing di tiap-tiap rumah dan dijadikan satu untuk diolah menjadi pupuk organik yang kemudian dapat diambil oleh siapapun di lumbung bagi yang membutuhkan. Lalu konsep lahan yang tidak lagi memberatkan sehingga tidak harus bergantung dan merasa berhutang budi terhadap tengkulak serta dana penghasilan tidak hanya berputar di sektor pertanian, melainkan menyentuh akses-akses kehidupan lain, seperti kesehatan, lingkungan, pendidikan dan lain-lain.

Tidak hanya itu, berkat adanya program ini, masing-masing individu jadi lebih memiliki rasa kepemilikan satu sama lain. Bukan tentang ini tanah siapa, ini sawah siapa. Masing-masing warga memastikan bahwa satu dan yang lainnya mendapat hak yang sama dan bisa hidup sejahtera bersama-sama pula. Inilah yang membuat kerukunan, kehangatan dan gotong royong serta kekeluargaan yang begitu kuat di kampung ini.

Tidak hanya program lumbung desa saja yang ternyata dirasakan manfaatnya oleh desa ini. Pasangan suami istri yang memiliki dua orang anak ini juga bercerita bahwa secara rutin, Sinergi Foundation juga mengirimkan bantuan lain kepada kampung mereka. Seperti bantuan dalam bentuk uang tunai, sembako maupun program green aqiqah. Tidak hanya itu, bahkan ada salah satu staff Sinergi Foundation, yaitu Bapak Jajang yang secara berkala membantu mengurusi perihal administratif warga di desa tersebut. Seperti pembuatan kartu keanggotaan BPJS Kesehatan dan lain-lain.

Selain bercerita tentang lumbung desa, pasangan suami istri ini juga bercerita tentang kesehariannya. Selain mengerjakan lahan tani, Ibu Jaliho bersama anaknya, Heni Fitria menjadikan rumahnya sebagai pusat Posyandu yang dapat diakses oleh masyarakat secara gratis. Dengan bangga ibu Jaliho menceritakan bagaimana antusiasme warga terhadap kesehatan yang cukup tinggi. Setiap bulannya, saat masa posyandu, warga berbondong-bondong mengajak anggota keluarga mereka untuk mengunjungi posyandu. Saking antusiasnya, mereka bahkan datang beberapa jam sebelum ibu bidan datang. Bagi Ibu Jaliho kesehatan merupakan salah satu aspek yang juga penting karena ia percaya bahwa di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat pula.

Walaupun desa tersebut sudah dikatakan lebih dari cukup, Bapak Muslih mengaku masih banyak yang perlu dibenahi. Misalnya akses aspal jalan yang masih belum merata dan sering becek bila musim hujan datang. Serta yang tingkat urgensinya paling tinggi adalah sarana MCK seperti toilet dan kamar mandi. Bapak Muslih mengaku bahwa warga yang memiliki fasilitas kamar mandi dan toilet yang layak masih dapat dihitung dengan jari. Sebagian warga belum memiliki cukup uang untuk membangun toilet, sebagian warga yang lainnya mengaku tidak  mau  membangun  dengan  alasan  lebih  mudah  menggunakan  toilet  sederhana  yang berada  di  kolam  depan  rumah  mereka  karena  dipercaya,  -maaf-  kotoran  tersebut  dapat memberi makan ikan-ikan yang hidup di kolam depan rumahnya.

PESAN UNTUK PEMUDA DAN MASA DEPAN

Zaman semakin berubah, dunia semakin mudah, teknologi di mana-mana dan budaya instant meraja lela. Bapak dua anak ini mengingatkan kita untuk senantiasa ingat akan setiap alasan demi alasan mengapa kita melakukan sesuatu, mengapa kita berada di titik ini, mengapa kita ada di setiap peristiwa yang saat ini di depan mata. Bapak  yang kesehariannya bekerja sebagai petani ini juga  mengingatkan bahwa sah ketika kita melihat keatas, tapi jangan pernah lupakan bagian bumi mana yang kita pijak. Sebuah nasehat yang menampar saya pribadi dalam sepersekian detik. Saya jadi ingat mungkin sejauh ini saya kurang bersyukur atas apa yang saya dapatkan dan kurang menyadari betapa banyak orang di luar sana yang menginginkan posisi saya saat ini.

Belum selesai, bapak tersebut juga menambahkan bahwa seberapa banyak ilmu yang kami dapat, seberapa  canggih  teknologi  yang kita  ciptakan, seberapa  besar  amanah  yang kita emban semuanya hanya akan menguap ketika tidak membawa kebermanfaatan bagi orang lain.  Beliau  berpesan,  jangan  terlalu  terlena  dan  bangga  ketika  menerima  manfaat,  tapi bagaimana caranya agar mampu memegang dan memanfaatkan manfaat itu sebaik-baiknya serta menciptakan manfaat-manfaat baru untuk orang-orang yang baru pula sehingga roda kebermanfaatan  dapat  terus  berputar.  Sebuah  nasihat  yang  hingga  detik  ini  terus  saya tanamkan dalam benak saya dalam-dalam.

CONCLUTION

Be a part of the SINERGI SCHOLARSHIP has formed a new perspective in my life: learned how giving everything that I have can be the most sincere form of love and trying to put aside my own ambitions to pursue huge dreams in mind. teach that we all have different ways in how we value everything. I never intended to have a good recognition for what I do. almost a year to be part of this new family has made me a lot of plunging into the community, meet with key figures, see firsthand the condition of our country and start thinking about what I can do for Indonesia.

Thanks for keeping the hard work and making education possible for every potential future leader of the world.

*Dimas Putra merupakan salah satu penerima manfaat beasiswa Pemimpin Bangsa – SInergi Foundation V |
http://dimas.paruh.net/2016/04/24/cigalontang-sebuah-perjalanan-tentang-kehidupan-masa-depan-kebermanfaatan/

Ayo Berbagi untuk Manfaat Tiada Henti
Assalamualaikum, Sinergi Foundation!