SF-UPDATES,– Kini, tak banyak orang menggunakan kerajinan bilik dari bambu. Ini digantikan dengan bangunan permanen seperti tembok, sementara untuk perabotan seperti singku (boboko), tampir (ayakan), kipas (hihid) dan lain sebagainya sudah tergantikan dengan perabotan yang terbuat dari basi ataupun plastik. Ketika pendamping Lumbung Desa bertanya kepada masyarakat perihal kerajinan bambu, rupanya ada beberapa masalah yang ditemukan, misal langkanya penjual kerajinan bambu.

Padahal jika dilihat, potensi bambu yang ada di Indonesia dan sebagian besar tumbuh liar bisa digunakan secara optimal dan bisa dibudidayakan dengan cukup mudah, bahkan bambu adalah sumber daya alam yang ramah lingkungan.

Namun ada yang menarik dari salah satu kampung pengrajin bambu khususnya tampir, yaitu di kampung Gosali, Ciwangi, Garut. Gosali merupakan salah satu kampung paling ujung yang berada di dusun 1 Desa Ciwangi. Ketika masuk melaui pintu gerbang Gosali dari mulai rumah pertama yang ditemui, mereka sudah membuat kerajinan anyaman bambu, khususnya tampir yang menjadi kerajinan primadona di wilayahnya.

Setelah ditanyakan lebih lanjut, memang sebagian besar warga khususnya perempuan dan lansia memang selalu membuat tampir dari anyaman bambu. Bahan utama  yang didapatkan berupa bambu yang sudah ditipiskan (dihuwa) berasal dari desa Pangereunan dan kadang mengambil dari daerah Selaawi. Untuk harga perikat bambu dibeli oleh pengrajin seharga Rp.8000 dan bisa menghasilkan 2 tampir setengah jadi.

Pengrajin menjual kembali hasil anyamannya kepada pengepul, yang akan mendistribusikannya ke berbagai daerah yang ada disekitar Jawa Barat seperti Bandung, Tasik, Ciamis, dan Garut. Harga setengah jadi dari 1 tampir berkisar Rp.10.000, dan dijual oleh tengkulak sebesar Rp.25.000 untuk tampir yang sudah jadi. Memang sekilas nampak biasa dan kurang menarik, tetapi apabila dilihat dari jam kerja pengrajin untuk mengerjakan 2 tampir setengah jadi  memerlukan waktu seharian, sehingga upah yang dihasilkan tidak seberapa dengan waktu dan kerja keras yang mereka kerjakan, ditambah dengan bahan utama yang membeli dariluar kampung, padahal jika dilihat dengan seksama potensi bamboo di wilayahnya masih bisa dimanfaatkan.

Saya sungguh berharap, program Lumbung Desa yang digalakkan oleh Sinergi Foundation, bisa membantu meningkatkan kesejahteraan mereka dengan potensi yang ada, terutama kini ada pendampingan khusus dari tim LD, yang bisa menambah kesadaran dari pengrajin untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada. []

Ditulis oleh Rahmi, pendamping Lumbung Bambu Ciwangi, Garut.

Ayo Berbagi untuk Manfaat Tiada Henti
Assalamualaikum, Sinergi Foundation!