SINERGIFOUNDATION – Apa yang terbesit di benak Sahabat, jika melihat ada orang yang bisa bertahan di dunia kerja selama bertahun-tahun?
Tidak sedikit yang kemudian akan merasa salut terhadap dedikasi dan perjuangan orang tersebut.
Namun di balik itu, pasti ada sesuatu yang membuat dirinya kerasan bertahun-tahun bertahan dengan segala lika-likunya.
Cerita yang akan dihadirkan ke Sahabat, adalah kisah salah seorang karyawan Rumah Bersalin Cuma-cuma (RBC) – Sinergi Foundation, yang bukan hanya bertahan lima atau sepuluh tahun, tapi sampai 15 tahun lamanya.
Dialah Tita Yulia (41 tahun), yang hampir sebagian besar dari usianya telah didedikasikan untuk umat, khususnya kepada kelompok masyarakat dhuafa.
RBC sendiri adalah layanan kesehatan gratis untuk ibu-ibu hamil dhuafa, pada awal berdirinya tahun 2004, RBC hanyalah sebuah program sederhana dengan impian yang besar.
Tita bercerita, dirinya bergabung ke RBC pada sekitaran Juni 2009 silam, melalui informasi lowongan kerja di sebuah media cetak.
“Impian saya adalah ingin bekerja di lingkungan positif, yang konsen dengan dunia sosial dan pendidikan masyarakat,” ucapnya, mengawali kisah yang begitu inspiratif, Rabu (17/07).
Meskipun di awal perekrutan, Tita tidak mengetahui betul, apa itu RBC dan bagaimana sepak terjangnya selama ini.
Namun, takdir menuntun langkah kedua kakinya di RBC dan bertemu dengan berbagai kelompok masyarakat, yang menjadikannya mendapatkan banyak hal-hal yang berharga, hikmah kehidupan.
“Di sini, saya mengawali karir sebagai front office (FO), yang bertugas melayani pasien khususnya dalam hal pendaftaran,” lanjutnya.
Namun, lambat laun tatkala bulan berganti tahun, kemudian berlipat menjadi sewindu, dan satu dekade, meski kawan seperjuangannya berganti, Tita tetap memutuskan bertahan.
“Terlalu banyak hal menarik di sini, banyak pelajaran, dan hikmah kehidupan yang membuat saya menjadi lebih banyak bersyukur,” ucapnya.
Bayangkan, saat melakukan monitoring atau survei ke lapangan di suatu waktu, dirinya pernah mendapati satu keluarga beranggotakan enam orang, tumplek blek di sebuah kamar berukuran 2×2 meter.
“Kasurnya di sana, lemarinya di sana, ada barang-barang lainnya, belum lagi ditambah ayah ibunya dan empat orang anak, bayangkan seperti apa hiruk pikuk dan sempitnya keseharian yang harus mereka lakoni,” kisahnya.
Kondisi tersebut, sambungnya, adalah rata-rata keadaan (kehidupan) yang didapati oleh para member RBC.
Itu baru di kawasan perkotaan Bandung, geser ke daerah tetangga, yaitu di Garut saat dirinya melakukan Aksi Kesehatan di satu Ramadan yang membara.
Tita mendapati satu lingkungan masyarakat yang ibu-ibu hamilnya notabene memiliki tensi tinggi.
Apa keladinya? Ternyata untuk menempuh ke tempat pelayanan kesehatan berjarak persawahan dan bukit terjal, sebuah track yang tidak ramah bagi ibu hamil.
“Jika memutuskan untuk menggunakan moda transportasi, rata-rata mereka harus merogoh kocek sekitar Rp 25 ribu, kebayangkan betapa jauhnya, itu di desa, lho,” sebutnya.
Kondisi nyata masyarakat yang ia temui sehari-hari, baik saat dirinya duduk manis di kantor atau saat berjibaku dalam program aksi ke daerah-daerah bencana, atau silaturahim ke rumah member itulah, memberikan dirinya sebuah value.
Sebuah pelajaran kehidupan yang ‘barangkali’ tidak akan didapatkan oleh mereka yang bekerja di balik dinding tebal, kursi empuk, dan meja kekuasaan.
Lebih dari itu, Tita yang kini menjabat di bagian keuangan RBC mendapati satu kesimpulan yang penting.
Menurutnya, jika pengelolaan dana keumatan seperti zakat, infak dan sedekah plus wakaf, bisa dikelola secara profesional maka akan menghasilkan pemberdayaan umat.
“Ini yang saya rasakan selama ini, dana zakat nyata dan terbukti bisa membantu mengentaskan permasalahan kesehatan dan pendidikan,” pungkasnya.***