Menata rumah mudah. Yang sulit menata penghuninya. Tata fisik jasad gampang. Tata rohaniah, masyaa Allah sulitnya ampun-ampun.
Kita bisa tampil cantik dan menawan. Tapi kita tetap kesulitan tata rohani. Wajah cantik rupawan. Tapi mulut ini lancar maki-maki PRT. Beli baju jutaan rupiah mudah saja. Tapi lihat pengemis amat sinis. Rasanya beri uang Rp 500 saja, beratnya terasa berton-ton.
Banyak orang cantik dan gagah, ayu dan perlente, aroma pun harum membuai. Tampilan diri, tak ada kurangnya lah. Tapi sebanyak itu yang perilakunya tak seindah tampilan. Cantik tapi jahat. Ganteng tapi memuakkan. Senyum menawan, tapi memaki-maki.
Muram hati tampak di wajah. Meski cantik, kusutnya kuat terpahat. Tanda banyak soal gayuti hati. Tanpa sadar, nafas sering ditarik. Yang namanya syahwat, tampak di mata. Kilatannya pertanda hasrat. Makin berkilat, makin menderu-deru nafsu. Tanpa sadar, napas berburu.
Bagi yang belajar menata hati, mudah lihat kekusutan wajah dan kilatan mata penuh nafsu. Jadi ngeri membayangkan. Bagi yang tak tata hati, ibarat berada di kegelapan. Gelap jumpa gelap. Maka semua hal hanya bisa diraba-raba. Hasilnya serba bias.
Di dalam gelap tanpa cahaya, kita tentu sulit lihat semut hitam. Apalagi berjalan di atas batu yang hitam pula. Itulah perumpamaan paling pas. Lihat kekurangan diri sendiri adalah yang paling susah. Tersembunyi. Jika dideteksi, eh diri pun kompromi.
Lihat kelemahan orang lain mudah. Tak salah pun, kita lihat ada yang kurang di dirinya. Lha, kenapa bisa begitu?
Ternyata hasad kita yang jadi soal. Dia tak salah, tapi kita tak suka. Ibarat politisi. Sebaik apapun, semua di luar partai adalah keliru. Siapapun manusia dalam kondisi yang sama. Mudah nilai orang. Tapi gagal nilai diri sendiri.
Lihat yang lebih cantik, sengitnya muncul. Yang lebih cantik itu diam, hasadnya tetap siaga. Saat si cantik itu cerewet, reaksinya bukan main. Dia berkata pada temannya: “Guwe ga suka tuh orang. Cerewet banget. Apa dia ga sadar. Cantik-cantik omongin orang. Ga boleh, kan”.
Lihat. Dia bilang, ghibah tak baik. Tapi dia sendiri tak sadar, dirinya sendiri tengah bicarakan orang lain.
Bagi politisi, sebaik apapun politisi di luar partainya, itu lawan. Sebaik apapun karya di luar partainya, tak bisa diterima. TITIK. Jika orang partainya jadi pengganti, karya itu musti dihapus. Jika dia lanjutkan, itu sama dengan pengkhianat. Artinya dia bantu partai lain.
Jangan-jangan inilah wajah perseteruan sesungguhnya perpartaian di Indonesia. Maka para politisi itu, “bangun negeri atau bangun partai?”
Banyak orang yakin, bahwa orang lain harus berubah. Namun sedikit yang paham, diri merekalah yang seharusnya berubah. Ramai orang lihat kekeliruan di pihak lain. Sedikit yang sadar, diri mereka sendiri yang sebenarnya jadi soal.
Ilmu psikologi konsen pelajari perilaku orang lain. Belum ada jurusan di psikologi ini, yang khusus pelajari diri mereka sendiri. Lulusan psikologi diberi senjata bedah perilaku orang lain. Tapi mereka sendiri tak diberi pisau untuk bedah perilaku sendiri.
Jangan-jangan belajar agama pun sama. Dibekali ilmu untuk bina umat. Tapi untuk diri sendiri, ilmunya barangkali lupa atau belum terpakai.
Saat hendak urus negara, sudahkah kita urus keluarga sendiri? Saat hendak urus keluarga, sudahkah kita urus diri ini? Ketika hendak urus diri, sudahkah kita kenal diri sendiri ini? Ketika belum kenal diri, berarti diri sendiri pun belum selesai.
Saat belum selesai dengan diri sendiri, bagaimana mungkin bisa urus orang lain. Siapapun yang belum selesai dengan dirinya, semua bisa jadi cilaka. Saat menjabat, jabatan jadi tunggangan. Waktu berkuasa, wewenang dilebih-lebihkan. Tak ada peluang, diada-adakan. Saat ada, disikat habis.
Plato bilang: “Yang pertama dan utama dipahami adalah diri sendiri. Saat bisa taklukan diri, itulah kemenangan terbesar dalam hidup”. Hati-hatilah dengan diri sendiri. Tak kenal diri, kita jadi tak tahu diri. Seolah benar, sejatinya merusak. Inilah “Musuh Permanen”.
Apa yang musti dikenali diri kita? Nafsu. Maksudnya? Yang buruk-buruk di diri kenali. Gengsikah, emosionalkah, egoiskah, atau korupkah kita?
Pokoknya saat bisa tinggalkan yang buruk-buruk, meski tak beragama sekalipun, itu sudah bantuan terbesar untuk bangun negeri ini. Jika kita bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, kita tak jadi beban dan benalu. Jika kita pejabat, kebijakan kita bisa merusak bangsa negara.
Dengan kenal diri, musuh pun jadi mitra. Sebab melalui dia, kita jadi tahu apa kelemahan dan kekurangan diri. Berbahagialah bagi yang mulai belajar kenali diri. Dia akan lebih sibuk perbaiki diri ketimbang perbaiki perilaku orang lain.
Dengan perbaiki diri, otomatis dia turut sumbang kebaikan negeri ini. Kurangi satu trouble maker alias maling. Siapa dia? Semoga itu kita.
Oleh: Erie Sudewo
————————————–
Artikel ini diadaptasi dari kultwit @ErieSudewoID tanggal 11 Februari 2015. Follow akun twitter @ErieSudewoID untuk kultwit terbaru.
Gambar: www.vccoaching.com