“Sedih rasanya bila kami tak bisa melanjutkan sekolah. Apa jadinya kami bila kami hidup tanpa pendidikan? Lihatlah kami seutuhnya. Berilah kami kesempatan untuk bisa belajar seperti anak yang lainnya.”
(Intan Kusuma Wulandari, Peserta Program “Sekolah Untuk Semua”)
Rumah itu berderet rapat dengan bangunan lainnya. Menyisakan beberapa depa seukuran jalur sepeda motor di depan teras. Di samping kirinya, ada tiga kamar yang sengaja dikontrakan. Sementara di kanan sudah menempel dinding masjid. Tak seberapa luas, tapi disitulah tiga saudara yang sudah berkeluarga berkumpul.
Namun demikian pembaca, ada hikmah yang begitu inspiratif di sana. Seorang ibu yang berjuang keras, menahan peluh batin, menunaikan kewajibannya sebagai orang tua. Menafkahi dua anaknya yang masih ranum.
Ya, pembaca, Allah meningkatkan level ujian ibu tersebut dengan memanggil suami tercintanya lebih awal pada 2009 silam. Air matanya tumpah begitu saja saat mengenang kepergian sosok yang dicintanya. Tak deras, tapi mengalir tak henti. Suasana obrolan yang tadinya hangat penuh tawa, seketika hening, dibumbui nafas yang sedikit terisak berat. Terasa beratnya ujian selepas kepergiannya. Semoga almarhum ditempatkan di tempat yang terbaik. Amin.
“Keseharian saya, ya biasa, menyiapkan sarapan untuk anak-anak. Lalu berangkat bekerja. Dari sini jalan dulu beberapa ratus meter, lalu naik angkot. Saya bekerja per tujuh jam. Sampai sore baru pulang,” papar Ibu Komariah saat Alhikmah bertandang ke rumahnya di sore hari yang cerah.
Sebagai seorang buruh lepas di salah satu butik, ia merasakan betul bagaimana sulitnya mengatur keuangan keluarganya. Apalagi di tengah harga barang yang terus melambung. Tak banyak kompetensi yang dipunya, juga kewajiban ibu sekaligus ayah bagi kedua anaknya, menuntutnya tak banyak pilihan untuk bekerja. Ia ingin melihat anaknya tumbuh dewasa dalam pengawasannya. Maka legowo terhadap resiko pekerjaannya adalah kunci Ibu Komariah bisa bertahan hingga kini.
“Sebagai buruh lepas, gaji saya di bawah UMR, sekira 800 ribu, sebetulnya tidak sebanding dengan pekerjaannya. Sebab benar-benar ‘dituntut’ karya yang bagus untuk memertahankan merk. Apalagi usia saya sudah tidak muda, tentu repot juga harus bekerja di bawah tekanan seperti itu,” terang Ibu Kokom, sapaan akrabnya.
“Sekali lagi, kebutuhan untuk memberikan yang terbaik untuk anak,” alasannya.
Rahman Nurfajri anak keduanya yang masih belia, lulus dari sekolah dasar dengan nilai yang cukup memuaskan. Angka 8 cukup banyak menghiasi raportnya, terlebih yang membanggakan nilai 9 untuk pelajaran agama.
Minimnya pendidikan keagamaan di sekolah negeri, membuat Ibu Komariah khawatir akan pergaulan anaknya. Ia lebih rela merogoh sakunya lebih dalam untuk memberikan pendidikan keagamaan yang mumpuni, tinimbang di sekolah yang murah namun minim pengajaran akhlak. Walaupun untuk saat ini kemampuannya berkata lain.
Terbukti, saat Rahman akan masuk ke SMP, Ibu Komariah masih agak sulit untuk melunasi biaya masuk yang mencapai 2.500.000,-. Beruntung, ia mendapatkan informasi dari ustadz yang mengisi di kelompok pengajiannya akan pendaftaran program Sekolah Untuk Semua (SUS) Dompet Dhuafa Jabar – Sinergi Foundation. Persis satu hari sebelum pendaftarannya ditutup.
Alhamdulillah, setelah ngebut melengkapi persyaratan, akhirnya tersiar kabar bila anaknya berkesempatan beroleh bantuan beastudi tersebut. Memang tidak langsung terbayarkan semuanya, tapi setidaknya bantuan itu cukup meringankan pikiran Ibu Kokom.
Ibu Kokom menyayangkan, mengapa biaya pendidikan di Indonesia itu tergolong mahal. Program bantuan dari pemerintah pun nyatanya selalu ada oknum yang piawai ‘menekan siswa’, sehingga ada saja yang harus dibayar oleh anak didik. “Katanya Gratis?” Kokom, satir.
Padahal tak sedikit dari yang papa, sangat mempunyai keinginan besar untuk sekolah. Namun apalah daya, nampaknya satire ‘orang miskin dilarang sekolah’ masih menjadi warna dunia pendidikan kita.
Pembaca, enam kali negeri ini berganti nakhoda, tapi masih jauh dari kata sejahtera. Mahalnya biaya pendidikan, adalah satu dari sekian juta permasalahan yang menimpa penduduk Indonesia. Bukan sekali dua, yang papa coba berkata. Namun lagi, entah untuk ke berapa kalinya, yang dhuafa yang tak disapa.
Kini, selepas pemilihan pemimpin negeri ini 9 Juli 2014 lalu, adakah sebersit harapan yang tersisa, bagi mereka yang lemah, yang tak ingin putus sekolah?
Secarik kertas, Intan Kusuma Wulandari mewakili harapan para peserta penerima manfaat program Sekolah Untuk Semua Dompet Dhuafa Jabar- Sinergi Foundation, agar pemimpin negeri ini juga memperhatikan nasib anak bangsa, seperti mereka.
Yth.
Para Pemimpin Bangsa..
di tempat
Puji syukur bagi kami yang telah diberi kesehatan untuk bisa menulis surat kecil ini. Izinkan kami untuk menyampaikan sepatah dua patah kata. Kami hanyalah orang kecil yang butuh perhatian dari orang – orang yang tinggi. Kami butuh pendidikan yang laik. Memang kami hanya orang kecil, tapi kami tetap mempunyai hak untuk belajar. Tengoklah ke belakang. Banyak orang-orang seperti kami. Jangan hanya mengurus para pejabat saja.
Sedih rasanya bila kami tak bisa melanjutkan sekolah. Apa jadinya kami bila kami hidup tanpa pendidikan? Lihatlah kami seutuhnya. Berilah kami kesempatan untuk bisa belajar seperti anak yang lainnya. Akan sangat bangga orang tua kami bila kami bisa sukses nantinya. Yang kami harapkan, kami bisa berkesempatan untuk menggapai cita-cita kami, akan sangat bersyukur bila itu terjadi. Amin..
Sekian tulisan kami. Hanya itu yang bisa kami tuliskan dalam surat kecil ini. Kami hanya butuh perhatian. Terima kasih, wassalamualaikum Wr Wb..
Tertanda
Intan Kusuma Wulandari
(Kevin Nurullah/Alhikmah)