Apakah sekarang kita bahagia? Apakah ada ketentraman dalam hati kita? Apakah setiap saat kita merasa bahagia?
Banyak orang di luar sana mencari makna apa itu kebahagiaan. Hidup dengan bergelimpang harta namun apakah ia merasa bahagia? Di sisi lain ketika kesulitan-kesulitan itu datang, apakah kita bisa tetap bahagia?
Saya jadi teringat kisah sayur buncis jamaah haji. Ada seorang jamaah haji yang sangat tidak menyukai sayur buncis. Ia akan berusaha sekeras mungkin untuk menolak sayur buncis yang tersaji di hadapannya.
Suatu saat, di dalam pesawat menuju ke Jeddah, jamaah ini tentunya merasa lelah dan kelaparan. Di dalam pesawat, akan dibagikan dua kali makan. Tentunya nasi, sayur dan lauk pauk. Saat pembagian makan pun tiba, pramugari memberikan box makan ke atas papan meja di hadapan tiap jamaah haji.
Seorang Jamaah haji ini dengan segera membuka bungkusan makanan. Dan apa yang dia lihat? Ternyata sayur buncis menjadi menu makan saat ini. Hatinya pun berubah menjadi dongkol. Ia merasa kecewa, mengapa justru sayur buncis yang tidak ia suka yang malah disajikan.
Dengan terpaksa, akhirnya ia melahap sayur buncis tersebut, daripada kelaparan.”Paling nanti menu makan kedua lain,” gumannya dalam hati. Ia pun berharap makanan selanjutnya tak ada sayur buncisnya. Lagi pula, di Bandar Jeddah nanti pun akan diberikan makanan lagi.
Saat yang dinanti-nanti pun tiba. Makanan pesawat tiba di hadapan sang Jamaah. Diintipnya pelan-pelan. Ternyata, menu lauknya berubah! Namun sayurnya tetap sayur buncis. Sang Jamaah pun ngedumel.
“Kok nggak kreatif banget , masa menu buncis lagi-buncis lagi. Tadi buncis, sekarang buncis,” keluhnya. Dia pun yakin nanti di Jeddah pasti menunya berbeda. Kini, betapa kecewanya dia. Raut mukanya masam cemberut sepanjang perjalanan ke Jeddah.
Akhirnya burung besi pun tiba di Jeddah. Usai melewati pemeriksaan imigrasi, satu persatu jamaah pun berkumpul di ruang tunggu. Nasi box lagi-lagi dibagikan. Sang Jamaah tadi pun buru-buru membuka kotak nasi. Apa yang lihat? Lagi-lagi sayur buncis. Akhirnya dengan kecewa berat, ia hanya bisa ngedumel.
Di sudut yang lain, ternyata ada jamaah yang sama-sama tidak suka buncis. Ketika di pesawat disajikan buncis, dia hanya tersenyum dan berkata, Alhamdulillah, masih bisa makan. Ia pun makan dengan lahap.
Saat kedua kalinya, ketika ia melihat buncis lagi, ia malah tertawa. “Malah ketemu buncis lagi nih, Alhamdulillah,” selorohnya sambil menikmati lahap diawali dengan basmalah. Dia memang berharap menu lain, tapi ketika buncis sudah tersaji, dia berpikir yang penting bisa menikmatinya.
Saat di Jeddah, ia pun membuka nasi kotak tersebut. ‘Alhamdulillah,” gumamnya. Berkali-kali dia berjumpa buncis pasti ada maknanya. Dari dua jamaah ini kita melihat, mereka sama-sama tidak suka buncis, namun berbeda cara menyikapi ketidaksukaanya.
Yang satu merasa kecewa berat dan terus larut dalam kekecewaan. Yang satu lagi merasa senang dan bahagia.
Jadi, apakah bahagia itu pilihan kita? Wallahua’lam, yang jelas dalam Islam, ketenangan dan kebahagiaan bisa diraih atas izin Allah. Allah yang memberikan kebahagiaan kepada kita.
Namun, ada kondisi di mana kita dapat memilih untuk tetap berbahagia atau tidak. Manusia memang hidup dalam penuh keterbatasan. Ketika takdir itu menyapa, mau tidak mau kita harus siap menerimanya.
Memilih berbahagia itulah pilihan kita. Pilihlah menjadi orang yang berbahagia sehingga kita memiliki kesiapan mental sebagaimana menghadapi hal-hal yang tidak kita harapkan, tidak kita suka ,seperti kisah sayur buncis tadi.
Sehingga kita ridha apapun yang sudah terjadi, kita dapat menghadapinya dengan tetap nyaman dan menyenangkan. Dan kita hadapi semua itu dengan baik. Jika ada pilihan, pilihlah untuk berbahagia!
Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”(QS. Al Fath [48]: 4)