Oleh Muhammad Rizki Utama *
Sudah satu pekan gempa berlalu, dan sang Ibu dan nenek tak sendiri. Masih banyak, ribuan orang yang bernasib serupa, tinggal dalam tempat yang begitu sederhana, atau bisa dibilang ‘memprihatinkan’. Namun, kedatangan para kawan-kawan dari Indonesia, membuat wajah mereka berseri.
Nepal. Terik masih menggantung dengan sangat garang, memanaskan setiap jengkal bumi Bhaktapur. Di bawah terpal itu, di samping penampungan luas itu, di samping meja kayu yang bertebaran beberapa kertas, orang-orang berparas India- Asia sedang ramai, kabarnya akan ada bantuan datang. Sudah satu pekan, sejak gempa Nepal, rupanya keramaian masih terjadi di beberapa pengungsian.
Di naungan sengatan terik, di bawah terpal oranye, biru, yang hanya ditopang oleh bambu, dikaitkan dengan kawat pagar pembatas, seorang ibu dengan selempangannya sedang menuangkan air minum kepada tiga anaknya. Batu bata berserakan diselilingnya. Di balik terpal itu, sang ibu hanya duduk, tak memungkinkan untuk berdiri, karena rendahnya atap terpal.
Tempat air masih teronggok di depan ‘pintu’ terpal, yang dari depan hanya terlihat seperti segitiga. Baju-baju bertebaran, sesekali jatuh ke tanah dan bata. Sang ibu tak sendiri, di dekatnya, ada dua orang renta mengayunkan tangan ke kening menahan terik, hanya beratap selembar kain bendera, duduk di atas alas seadanya.
Sudah satu pekan gempa berlalu, dan sang Ibu dan nenek tak sendiri. Masih banyak, ribuan orang yang bernasib serupa, tinggal dalam tempat yang begitu sederhana, atau bisa dibilang ‘memprihatinkan’. Namun, kedatangan para kawan-kawan dari Indonesia, membuat wajah mereka berseri.
Senyum tersimpul, seakan tak ada wajah muram ketika ditemui. Anak-anak pun berkata,”Hallo” sambil mengayunkan jemarinya ke arah kamera awak media atau para relawan. Memang itulah anak-anak, di antara ruang kemanusiaan, ia selalu menyisihkannya untuk secercah harapan.
Gempa 7,9 skala ricther yang melanda Nepal Sabtu (25/4/2015) silam seakan membuat masyarakat internasional menoleh kepada negeri yang dikenal sebagai surga pendaki ini. Lebih dari 6000 orang dinyatakan meninggal dunia, dan puluhan ribu orang lainnya terluka. Bahkan ribuan orang kini belum diketahui keberadaaanya.
“Ini adalah gempa kedua terbesar di nepal setelah puluhan tahun,” kata Tamang, seorang wanita asal Nepal di dalam pesawat yang mengantarkan saya ke Tribuvhan Internasional Airport Kathmandu Nepal, beberapa hari silam. Katanya, sangat jarang sekali gempa terjadi di Nepal. Matanya hanya berkaca-kaca, “Its many problem in Nepal now,” katanya. “But, my familiy is safe,” tambahnya dengan senyuman.
Memang, dikabarkan di pelbagai media Internasional, bahwa pemerintah Nepal mengaku tidak siap dengan penanganan pasca gempa ini. Maka, berdatangan lah dari seluruh dunia, mengulurkan lengannya. Sepandang mata beredar, di Bandara, kotak-kotak besar itu berjejer rapi.
Dus-dus, kotak-kotak, kontainer-kontainer bantuan mulai berdatangan. Para relawan dari seluruh dunia berkumpul di sini, termasuk dari Indonesia. Katmandu, Bhaktapur, Patan, Gorka, Sinduphalcok, Naikap dan masih banyak wilayah lain yang terkena dampak gempa dahsyat ini. Satu pekan pasca gempa, denyut nadi warga Nepal seakan merangkak pelan, menuju perbaikan. “People very slowly growing,” kata Prangga, seorang pengurus Hotel Tasi Dhargey Inn di kawasan wisata Tamel, Katmandu