
SF-UPDATE,– Sewaktu tahu dia tengah hamil, Rita senang bukan main. Ia dan suami terlonjak gembira, pun bercampur takjub. Di usia yang telah berkepala empat, Rita akhirnya diberi kesempatan mengandung anak kedua. Bayangkan, setelah 13 tahun penantian!
Padahal konon katanya, usianya itu termasuk berisiko tinggi kematian. Entah bagi ibu, maupun pada bayi. Yah, bagaimanapun, fisik di umur tersebut sudah tak sebugar dulu. Sesuatu seperti itulah, yang tak Rita pahami. Tapi, ia dan suami berkeras ingin menimang buah hati. Salahkah mereka mendamba anugerah itu dari Allah?
Jadi, pada saat tes kehamilan itu positif, Rita sangat gembira. Bahkan menangis karena terharu. Pun dengan suami, Asep, yang memang sudah lama mendamba kehadiran darah dagingnya itu. Satu anak saja belum cukup, kata dia. Sempurna sudah keluarga kecil itu bagi Asep, jika si kecil hadir.
Begitu juga putra pertama mereka yang telah menginjak usia remaja. Ia antusias menyambut sang adik. Ikut berbahagia saat kedua orang tua menyampaikan kabar gembira ini.
Tapi, bukankah kebahagiaan itu melenakan? Sebab sering, manusia jadi tak siap menghadapi duka. Itu pula yang dirasakan Rita. Berawal saat ia tak merasakan pergerakan janin di perut. Padahal, saat itu kehamilannya sudah beberapa minggu.
Menjelang usia kandungan yang ke-9 minggu, tiba-tiba mengalir darah dari rahimnya. Rita terkejut. Saat diperiksa, bidan mengatakan bahwa kandungan itu kosong, alias tak berkembang. Ia keguguran. Rita hanya menatap nanar, sebelum akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Sang suami pun tak bisa menyembunyikan wajah yang muram.
“Jika hamil dI atas usia 35 tahunan, risikonya memang akan seperti ini. Janin tak bisa berkembang,” kata bidan waktu itu.
Sang bidan kembali menuturkan, bisa jadi sebabnya adalah hidup yang tidak sehat. Bayi tak mendapatkan gizi cukup, karena ia tidak makan dengan baik. Akibatnya, janin dalam kandungan itu tak tumbuh. Rentetan nasihat, agar ia lebih merencanakan kehamilan keluar dari bibir bidan tersebut.
Hhhh… Helaan nafas panjang itu semakin melelahkan hari Rita. Sesungguhnya, bukan ia tega memberikan calon buah hati itu asupan tak bergizi. Tapi, bagaimana bisa, sementara ia sendiri hidup berkekurangan? Sekadar memberi beras saja masih harus berhemat untuk tiga kepala.
Asep hanyalah buruh harian. Tak perlulah ditanya, penghasilannya minim. Kadang, Asep beralih profesi menjadi tukang ojek. Tapi tetap saja, penghasilan itu tak akan lantas melebihkan kehidupan mereka. Nasi dengan ikan asin, biasa disantap berdesakan di rumah yang bahkan tak mencapai 7×7 meter itu.
Rita termangu. Dosakah jika ia bersikeras ingin memiliki anak lagi? Mata itu telah sembab, namun binar di dalamnya menguarkan tekad. Bukankah Rasulullah sendiri yang menganjurkan umat untuk memiliki banyak anak? Bahkan mendoakan keberkahan atas hal tersebut. Hati Rita membulat. Ia tak akan berhenti meminta pada-Nya.
Doa yang terus dipanjatkan itu akhirnya dijawab. Satu tahun berlalu, Rita kembali berbadan dua. Ini melambungkan harapan keluarga kecil mereka. Kali ini, setidaknya ia ingin lebih berhati-hati. Mencoba mengonsumsi makanan-makanan kaya gizi sebatas kemampuan yang bisa ia capai.
Namun, Allah kembali mengujinya. Ia mengalami pendarahan di trimester pertama kehamilan. Bidan yang menanganinya lagi-lagi berkata janin yang Rita kandung kosong. Ia kemudian meminum obat-obatan herbal agar janin tersebut keluar. Rita menolak melakukan kuret, karena meyakini tindakan medis itu akan memperlambatnya hamil lagi. Selain, dikuret kan perlu biaya besar…
Akan tetapi, jauh di lubuk hati, Rita telah trauma. Antara ingin memiliki anak, tapi khawatir pengalaman telah lalu terulang. Pun dengan sang suami, juga putranya, yang bahkan ikut menahan tangis. Asa yang sudah dibumbung, terhempas begitu saja.
“Saya masih ingin memiliki anak, tapi mungkin kita tak usah lagi terlalu mendamba seperti kemarin-kemarin. Biar serahkan pada Allah saja,” ujar sang suami.
Maka, kehidupan mereka kembali berlanjut. Masih di rumah itu, tempat Rita menjadi ibu rumah tangga. Juga Asep, yang di kala masa kosongnya sebagai buruh harian, menyempatkan diri ngojek. Kesedihan di masa lalu tak boleh menyurutkan semangat memperbaiki hidup, bukan?
Hari demi hari terus dilalui. Suatu saat, Rita mendapati dirinya tak kunjung haid. Ia mendesah. Pastilah ia telah mengalami menopause. Apa boleh buat, usianya sudah kian menua.
Setelah beberapa lama, ia menyadari ada perubahan yang terjadi pada perutnya. Semakin membesar. Setelah memeriksa dengan test pack, barulah Rita tahu bahwa kini ia tengah mengandung 4 bulan. Alhamdulillah.. Kendati demikian, sang suami menyuruhnya meredam perasaan gembira. Lagi-lagi, takut kecewa.
Namun, tentu tak berarti sepasang suami istri itu tak mempersiapkan, meski Rita tak jua buru-buru memeriksakan diri. Hanya sesekali, memastikan kondisinya sehat. Rita sendiri sudah mulai resah. Kondisi perekonomian mereka begitu lemah, ia tak yakin apa mereka bisa membayar persalinan atau tidak.
Sang suami, telah lama meninggalkan pekerjaan buruh. Mereka benar-benar tergantung pada pencaharian Asep dari ngojek. Biaya persalinan yang tak murah akan semakin menghimpit keuangan mereka.
Qadarullah, seorang kerabat meminta Rita untuk mendaftar menjadi member Rumah Bersalin Cuma-Cuma (RBC) saja. Jika masuk kategori dhuafa, biaya konsultasi, pemeriksaan, hingga persalinan bisa diatasi. Setelah menjalani beberapa prosedur, Rita pun bisa meringankan perekonomian keluarga dan bersalin di RBC. Alhamdulillah..
Singkat kisah, dua minggu sebelum prediksi kelahiran, Rita melahirkan seorang anak perempuan. Sulit baginya. Dengan usia yang mulai menua, ia susah mengatur nafas, bahkan sesak saat mengejan. Tapi, perjuangan itu ia menangkan.
Haru membuncah, tangis bahagia mengalir di kedua pipi. Putri yang ditunggu-tunggu, dinanti hingga 15 tahun lamanya.. Keluarga kecil itu akhirnya tergenapi. Mereka tak henti mengucap tahmid.
“Allah bukan tak menjawab doa-doa kami, hanya mengabulkannya di waktu yang tepat, setelah kami lulus ujian kesabaran,” pungkas Rita. []
Penulis : Aghniya Ilma Hasan